Pemerintah tengah merancang strategi untuk memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Strategi ini dilakukan dengan mencari mekanisme penjaminan awal Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk masyarakat yang belum terlayani oleh sistem keuangan formal (unbanked).
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pihaknya sedang menggodok usulan tentang perluasan dan penambahan jaminan supaya masyarakat yang tergolong belum layak mendapatkan kredit (unbankable) bisa masuk ke sistem KUR dengan dijamin sementara oleh pemerintah. Hal ini dilakukan agar pengusaha pemula bisa “naik kelas”.
“Harapannya dua cycle sekiranya dia (debitur) macet (angsuran kreditnya), pemerintah yang menalangi dari asuransi melalui KUR. Kemudian cycle ketiganya dia (debitur) masuk ke (segmen) komersial. Nah kita lagi men-define, bagaimana mekanisme penjaminan ini dari ultramikro ke mikro, atau bahkan ke ritel,” paparnya di sela diskusi yang digelar BRI Research Institute, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis pada Kamis (18/1).
Tiko─sapaan karib Kartika─mengatakan, perluasan penjaminan dari permodalan KUR sangatlah penting. Bank perlu memberikan KUR hingga pengusaha level pemula yang belum bankable dan memiliki pengalaman.
Ia mejelaskan, usaha menyukseskan UMKM dapat dilakukan dengan berbagai cara. Selain biaya operasional yang murah dan akses pemberdayaan, aspek permodalan dan penjaminan juga penting bagi UMKM.
Ketiga aspek tersebut diusung oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Pegadaian, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dalam Holding Ultra Mikro (UMi). Aspek-aspek ini perlu diperkuat dengan menjangkau pelaku usaha skala ultramikro, bahkan yang tergolong kategori belum layak mendapatkan kredit dari bank.
Terlebih, ada tantangan besar seiring target Indonesia Emas 2045. Yakni, meningkatnya jumlah angkatan kerja baru di tengah lonjakan populasi. Tiko memperkirakan, dalam 10 tahun ke depan masih akan ada 35─45 juta orang yang menjadi pengusaha prasejahtera alias pra-layak kredit.
Untuk itu, negara dan lembaga keuangan harus membantu memberdayakan dan membuka akses finansial hingga penjaminan. “Nah isunya setelah beberapa tahun ini kita masuk ke layer lebih bawah, lebih less bankable lagi, dan smaller size. Jadi membutuhkan jangkauan lebih dalam, cost lebih murah, dan penjaminan lebih luas,” ucapnya.
Tiko pun menjabarkan langkah-langkah kolaborasi yang dapat dilakukan antara Holding UMi dengan pemangku kebijakan.
Pertama, untuk menurunkan biaya operasional, Holding UMi bisa memanfaatkan jaringan agen, seperti AgenBRILink milik BRI dan Kelompok Mekaar milik PNM di setiap pelosok desa. Hal ini agar akses pembiayaan ultramikro lebih luas, dekat, murah, dan mudah dibanding jika masyarakat harus mengakses kantor cabang bank.
Di sisi lain, penerapan konsep layanan hibrida melalui digitalisasi akan memangkas biaya operasional yang kerap lebih mahal daripada bunga dan pinjaman yang didapatkan pelaku usaha.
“Masyarakat kalau ke cabang atau unit perjalanan, jauh. Tapi, agen depan rumahnya ada. Nah sekarang transaksi kita dipindahkan mulai dari pencairan kredit, pembayaran cicilan kredit, transaksi, semua di agen,” jelas Tiko.
Sementara itu, fungsi kantor cabang dan unit dapat dialihkan untuk memperkuat aspek kedua, yakni pembinaan dan pemberdayaan pelaku usaha. Kantor cabang dan unit dapat menjadi pusat kursus, ruang diskusi, dan pusat komunitas pelaku usaha untuk meningkatkan kompetensi.
Menurut Tiko, masyarakat perlu belajar tentang pengemasan produk, logistik, dan pengelolaan keuangan. “Tidak bisa hanya dikasih uang, dikasih penjaminan,” tuturnya. Pembinaan ini, lanjutnya, akan membuat pengusaha ultramikro “naik kelas” menjadi pengusaha mikro, kecil, hingga menengah.
Menurut Tiko, jika upaya ini dilakukan secara konsisten, maka ada potensi penambahan 30─40 juta pelaku usaha yang terlayani oleh sistem keuangan formal, sehingga dapat tercipta 80 juta pekerjaan baru di masa depan. Holding UMi pun bisa mendorong kemakmuran masyarakat pada level rural.
Holding UMi menargetkan 45 juta masyarakat unbanked terlayani tahun ini. Adapun jumlah debitur Holding UMi terus meningkat. Per September 2023, jumlah debitur holding ini mencapai 36,6 juta, atau tumbuh 22 persen dari posisi September 2021. Artinya BRI, Pegadaian, dan PNM masih akan menjaring 8,4 juta debitur ultramikro baru hingga 2024.
Sementara itu, total oustanding kredit Holding UMi mencapai Rp590,7 triliun per akhir September 2023, atau tumbuh 11,6 persen secara tahunan. Angka tersebut meningkat 27,38 persen dibanding capaian pada awal periode pembentukan holding.
Rinciannya, kontribusi kredit mikro BRI selaku induk holding mencapai Rp479,9 triliun, atau naik 10,9 persen secara year-on-year dengan 14,2 juta debitur. Di sisi lain, porsi kredit Pegadaian mencapai Rp65,6 triliun, meningkat 17,3 persen dengan 7,4 juta peminjam. Sementara itu, pembiayaan PNM mencapai Rp45,3 triliun, tumbuh 14,3 persen dengan 15 juta debitur.