DPR Tagih Penerapan Cukai Plastik dan Minuman Manis, Ini Kata Kemenkeu

Kementerian Keuangan
Menteri Keuangan Sri Mulyani
20/3/2024, 12.02 WIB

Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menagih Kementerian Keuangan terkait pelaksanaan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Sebab, target penerimaan dua cukai tersebut sudah masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengungkapkan alasan kenapa program cukai itu belum terealisasi hingga saat ini. Menurut Askolani, hingga saat ini Kementerian Keuangan masih mendiskusikan penerapan cukai tersebut di lintas kementerian.

"Bila sudah selesai akan dikonsultasikan dengan komisi XI DPR RI, kebijakannya masih belum final dan masih akan dibahas di lintas kementerian,” ujar Askolani dalam rapat kerja Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (19/3).

Tak berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menekankan bahwa penerapan dua kebijakan cukai tersebut masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut di lintas kementerian.

Selain itu, dia mengungkapkan bahwa target penerimaan cukai plastik sudah beberapa kali dibahas. Namun implementasi cukai tersebut masih perlu mempertimbangkan kondisi perekonomian negara, waktu, dan urgensi.

“Jangan lupa bahwa cukai tujuannya untuk menghambat konsumsi [plastik dan minuman manis] karena dianggap membahayakan lingkungan dan kesehatan. Jadi, kita akan melihat dari sisi waktunyanya, dan target yang sudah ditetapkan APBN,” ujar Sri Mulyani.

Penerapan Cukai Minuman Manis Lebih Kompleks

Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa penerapan cukai MBDK lebih kompleks dibandingkan cukai plastik. Karena, minuman berpemanis masuk dalam undang-undang kesehatan. Maka dari itu, perlu dilakukan pembahasan di lintas kementerian.

“Akan ada pembahasan antar kementerian, yaitu kementerian kesehatan, kementerian perindustrian, dan mengenai kadar gula serta kadar garam yang dianggap sehat dibandingkan dengan industri,” ujarnya.

Sebagai informasi, implementasi MBDK dinilai dapat menghemat APBN hingga Rp 40,6 triliun. Hal tersebut diungkapkan dalam riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

Dalam riset tersebut, CISDI menilai penerapan cukai MBDK dapat mengurangi kasus diabetes melitus tipe 2 di Indonesia hingga 2033.CISDI menghitung instrumen bernama Disability-Adjusted Life Years atau DALYs untuk mengetahui beban ekonomi akibat kematian dan disabilitas yang berasal dari penyakit diabetes melitus tipe 2.

Chief Policy and Research CISDI, Olivia Herlinda, mengungkapkan dengan hilangnya kedua beban tersebut, Indonesia mampu menghemat biaya langsung atau biaya pengobatan akibat diabetes melitus tipe 2 sebesar Rp 24,9 triliun dan biaya tidak langsung atau kerugian akibat hilangnya produktivitas ekonomi karena diabetes sebesar Rp 15,7 triliun.

“Indonesia dapat menghemat hingga Rp 40,6 triliun dari penerapan cukai MBDK yang dapat menaikkan harga jual produk MBDK di pasar paling tidak sebesar 20%,” ujar Olivia dalam risetnya dikutip Jumat (8/3).

Health Economics Research Associate CISDI, Muhammad Zulfiqar Firdaus menambahkan, kenaikan harga minuman manis sebesar 20% berpotensi menurunkan konsumsi minuman pemanis dan gula harian rata-rata sebanyak 5,4 gram untuk laki-laki dan 4,09 gram untuk perempuan.

Berdasarkan perhitungan pemodelan ekonomi, penurunan angka konsumsi ini akan mencegah 253.527 kasus kelebihan berat badan atau overweight dan 502.576 kasus obesitas hingga 2033.

"Cukai terbukti memiliki efek edukasi. Penerapan cukai akan membuat masyarakat bertanya mengapa dan akan mendorong mereka mencari tahu lebih lanjut mengenai konsumsi suatu produk," ujar Zulfiqar.

Reporter: Zahwa Madjid