Bank Indonesia (BI) memastikan likuiditas perbankan masih aman meski bank sentral menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25%. Hal ini tercermin dari Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang mencapai 27,18%.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Nugroho Joko Prastowo mengatakan, likuiditas perbankan secara nasional masih memadai. Sementara masalah likuiditas yang ketat, dinilai berasal dari individu bank itu sendiri.
“Istilahnya bukan masalah industri perbankan, tapi beberapa individu bank. Jadi ini bisa dilihat dari AL/DPK perbankan yang masih sangat tinggi di level 27%,” ujar Joko dalam acara bertajuk Perkembangan Ekonomi Terkini dan Respons Bauran Kebijakan di Samosir, Minggu (29/4).
Joko menjelaskan bahwa pada saat masa pandemi Covid-19, perbankan memilih tidak agresif menyalurkan kredit dan menyimpan dananya dalam berbagai instrumen, seperti surat berharga negara (SBN) yang mudah dicairkan.
Namun menurut Joko, sejumlah bank memilih tidak mencairkan seluruh surat utang meski sudah membeli dalam jumlah besar. Sebab, jika dicairkan seluruhnya untuk penyaluran kredit, maka akan berdampak pada pengetatan likuiditas.
Dengan kondisi ini, perbankan hanya bisa mengandalkan DPK untuk menyalurkan kredit kepada nasabah. DPK tersebut dapat berupa tabungan, giro maupun deposito.
BI Guyur Insentif Likuiditas Rp 280 Triliun
BI memberikan insentif likuiditas sebesar Rp 280 triliun pada tahun 2024. Hal ini dalam rangka memperkuat kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) demi mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan penguatan likuiditas makroprudensial perlu dilakukan untuk mengoptimalkan insentif likuiditas yang tersedia.
“Kemudian untuk memperluas cakupan pada sektor prioritas yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Perry dalam konferensi pers secara daring, Rabu (25/4).
Secara rinci, tambahan likuiditas perbankan mencapai Rp 81 triliun. Sebelumnya, nilai insentif makroprudensial mencapai 165 triliun pada Maret 2024. Dengan begitu, total tambahan insentif likuiditas mencapai Rp 246 triliun.
Tak hanya itu, dengan perluasan beberapa sektor prioritas dan pertumbuhan kredit, maka tambahan likuditas bakal menyentuh Rp 115 triliun pada akhir tahun 2024. Sehingga total insentif yang diberikan mencapai Rp 280 triliun.