Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Salah satu tantangan struktural adalah mengenai syarat pemenuhan modal inti mininal Rp 6 miliar.
Tantangan lainnya berkaitan dengan tata kelola dan manajemen risiko. Menurutnya, kualitas dan kuantitas pengurus serta Sumber Daya Manusia atau SDM industri BPR dan BPRS masih perlu dioptimalkan. Karenanya, penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif diperlukan untuk meningkatkan kinerja industri BPR dan BPRS.
Tantangan selanjutnya yaitu dari sisi persaingan usaha, BPR dan BPRS menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan lembaga keuangan lain khususnya untuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dari hulu sampai hilir.
“Terlebih lagi dengan masifnya perkembangan teknologi informasi yang mendorong inovasi produk dan layanan keuangan juga menjadi persaingan yang cukup berat bagi industri BPR dan BPRS,” kata Dian, dalam peluncuran Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR - BPRS 2024 - 2027, Senin (20/5).
Apalagi, jumlah BPR dan BPRS yang banyak dan sebagian besar didominasi oleh BPR dan BPRS dengan skala usaha kecil. “BPR dan BPRS juga masih dihadapkan dengan kewajiban pemenuhan modal inti minimum BPR dan BPRS besar Rp 6 miliar,” tuturnya.
Dian menjelaskan dari aspek permodalan, profitabilitas dan legalitas BPR dan BPRS ini memiliki rasio keuangan yang relatif terjaga, antara lain tercermin dari rasio CAR yang menunjukkan ketahanan yang baik dan mampu menopang resiko kredit atau pembiayaan yang sedang menunjukkan tren meningkat pada saat ini.
Karena itulah, OJK meluncurkan peta jalan BPR dan BPRS melalui POJK 7/2024. Aturan itu memuat sejumlah kebijakan strategis guna mengakselerasi penguatan aspek kelembagaan industri BPR dan BPR Syariah dengan empat poin utama sebagai berikut:
1. Kesempatan bagi BPR dan BPR Syariah untuk memperluas akses permodalan melalui aksi penawaran umum efek melalui pasar modal
2. Kebijakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan termasuk kewajiban konsolidasi bagi BPR dan BPR Syariah yang berada dalam kepemilikan Pemegang Saham Pengendali yang sama. Kebijakan tersebut diharapkan dapat secara cepat memperkuat permodalan, memastikan kecukupan infrastruktur teknologi informasi, memperkuat tools penerapan manajemen risiko dan tata kelola, sehingga dapat mendorong penguatan daya saing industri BPR dan BPR Syariah.
3. Semangat efisiensi lembaga jasa keuangan yang memperkenankan Lembaga Keuangan Mikro untuk melakukan aksi penggabungan dengan BPR atau BPR Syariah.
4. Penyempurnaan aspek kelembagaan lain seperti jaringan kantor untuk mengakomodir arah pengembangan dan penguatan BPR dan BPR Syariah.