DBS Gandeng Mitra Global Ciptakan Ekosistem Pembiayaan Transisi Energi

Dok DBS
DBS bekerja sama dengan perusahaan teknologi dan mitra-mitra lainnya untuk membantu kliennya mencapai transisi energi menuju energi hijau.
Penulis: Hari Widowati
6/9/2024, 20.25 WIB

DBS Bank Singapura bertekad menjadi bank yang mendukung transisi energi di Asia. Transisi energi membutuhkan biaya besar dan harus dilakukan lewat ekosistem yang kuat yang melibatkan para pelaku dari berbagai sektor industri.

Deputy CEO DBS Bank Singapura Tan Su Shan mengatakan dunia menghadapi tantangan yang mendesak untuk mengatasi masalah iklim. Dunia sudah mengeluarkan emisi karbon sebanyak 2.620 Gigaton sejak 1850. Saat ini kuota untuk emisi karbon hanya tersisa sekitar 9% dari Carbon Budget untuk mempertahankan suhu bumi agar tidak naik melampaui 1,5 derajat Celcius sebagaimana Kesepakatan Paris.

"Dunia membuat kemajuan yang baik. Setiap saya bertemu dengan konglomerat Indonesia, mereka mengatakan bahwa mereka akan membangun lebih banyak energi terbarukan," ujar Su Shan dalam sesi tematik "Financing Energy Transition" di Indonesia International Sustainability Forum atau ISF 2024, di Jakarta Convention Center, Jumat (6/9).

Ia menyebut Indonesia sebagai negara yang memiliki kekuatan hijau super dari mangrove, energi surya, hingga ke nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik. Namun, Indonesia juga membutuhkan teknologi hijau. Cina merupakan produsen teknologi hijau yang saat ini dinilai paling mumpuni.

Su Shan menyebut Cina, India, dan Indonesia saat ini adalah tiga kekuatan di sektor energi terbarukan di Asia. Namun, Asia harus memiliki narasinya sendiri untuk mencapai target dekarbonisasi, tidak bisa menggunakan target-target dari negara-negara Barat.

DBS menilai Indonesia juga menghadapi tantangan untuk mendorong transisi energi. Salah satunya adalah dalam hal politik mengingat dalam 45 hari ke depan akan ada transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Su Shan menilai perlu kebijakan jangka panjang dalam transisi energi sehingga ada keberlanjutan meskipun pemerintahan berubah.

Upaya transisi energi itu juga ada kaitannya dengan geopolitik, misalnya untuk membangun ASEAN Grid yang melintasi beberapa negara. Kemudian, dibutuhkan teknologi untuk memasang kabel laut untuk mengekspor energi karena hanya sedikit perusahaan yang mampu menyediakannya. Oleh karena itu, diperlukan ekosistem yang saling mendukung.

"Dunia perlu menemukan solusi yang inovatif, siapa yang akan membayar transisi energi ini? Kami bekerja sama dengan mitra regional dan global untuk menciptakan instrumen finansial yang bisa mendanai transisi energi, termasuk untuk pensiun dini pembangkit listrik batu bara (PLTU)," ujarnya.

DBS bekerja sama dengan perusahaan teknologi dan mitra-mitra lainnya untuk membantu kliennya mencapai transisi energi menuju energi hijau. Misalnya, DBS bekerja sama dengan perusahaan teknologi yang menciptakan kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan laporan ESG (environment, social, and governance). Dengan teknologi, DBS juga bisa mendapatkan climate analytic tools untuk mengetahui apakah perusahaan bisa mencapai nol emisi bersih pada 2050.

"Kami bekerja sama dengan Schneider dan Keppel untuk membangun energi terbarukan," ujar Su Shan.

DBS juga menyediakan solusi untuk H&M yang menginginkan pemasoknya lebih hijau, misalnya di India. DBS akan membiayai pabrik yang menjadi pemasok H&M untuk memasang solar panel, misalnya, dan membuat operasionalnya lebih hijau. Kemudian, H&M akan memberikan kontrak untuk perusahaan tersebut sebagai jaminan dari pinjaman yang diberikan oleh DBS.

"Dengan demikian semuanya bisa menang (win win) kalau bisa bekerja sama," tuturnya.