Pemerintah memiliki utang jatuh tempo kepada Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 100 triliun pada 2025. Hal ini termuat dalam laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LHP LKPP Tahun 2021.
Dalam laporan BPK terungkap bahwa utang ini juga dihasilkan dari burden sharing bersama Bank Indonesia saat pandemi Covid-19. Burden sharing merupakan suatu konsep pemerintah dan bank sentral berbagi tanggung jawab dalam menangani krisis ekonomi, termasuk beban finansial yang timbul.
BPK mencatat terdapat surat berharga negara (SBN) jatuh tempo yang dibeli BI. Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKBI) II yakni Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 326/KMK.08/2020 dan Nomor 22/8/KEP.GBI/2020 jo. Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 347/KMK.08/2020 dan Nomor 22/9/KEP.GBI/2020).
Berdasarkan penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III, terdapat surat utang negara atau SUN seri variable rate atau VR yang khusus dijual kepada BI di pasar perdana. Nilai total surat utang itu mencapai Rp 612,56 triliun.
Dari situ, utang jatuh tempo pemerintah melalui SUN dan VR mencapai Rp 100 triliun pada 2025. Lalu pada 2026 dan 2027 masing-masing Rp 154,50 triliun. Kemudian pada 2028 mencapai Rp 152,06 triliun dan pada 2029 mencapai Rp 51,50 triliun.
SUN seri VR tersebut bersifat tradable dan marketable atau dapat digunakan untuk kepentingan operasi moneter. BPK juga menyebutkan, SUN seri VR tersebut akan dipertahankan sampai dengan jatuh tempo, karena menggunakan tingkat bunga reverse repo BI dengan tenor tiga bulan berdasarkan rata-rata tertimbang dalam lelang terakhir.
Kemudian realisasi kontribusi yang dibayarkan oleh Bank Indonesia kepada pemerintah diakui dan dicatat sebagai pengurangan belanja bunga untuk tujuan skema burden sharing. Bank Indonesia menanggung sebagian belanja bunga yang ditanggung pemerintah dengan nilai Rp 19,12 triliun.
Terdiri dari kontribusi BI untuk public goods sebesar Rp 13,39 triliun. Selain itu juga untuk nonpublic goods sebesar Rp 5,7 triliun. "Adapun Kontribusi BI untuk cluster A belum dapat realisasi pada tahun 2021," tulis laporan BPK.