Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana meningkatkan kuota Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kebijakan ini merupakan respons atas permintaan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait.
“Kemenkeu menerima rencana peningkatan kuota FLPP dan akan didiskusikan dalam pembahasan RAPBN tahun 2025,” kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dikutip dari Antara, Sabtu (30/11).
Maruarar Sirait menjelaskan, usulan penambahan kuota KPR FLPP yang diterima Kementerian Keuangan akan meningkatkan penyaluran dari 200 ribu unit menjadi 800 ribu unit pada 2025.
Selain itu, Kemenkeu juga mendukung pengembangan sumber pendanaan alternatif untuk memastikan keberlanjutan pembiayaan, terutama jika skema pembiayaan mengalami perubahan.
“Untuk bisa mendesain ulang FLPP, kita perlu menyesuaikan aturan-aturan yang ada dan penambahan kuota akan masuk ke pembahasan tahun depan karena ada hitungan berapa belanja, penerimaan, dan lain-lain,” ujar Suahasil Nazara.
Berdasarkan rencana Kementerian PKP, skema pembagian porsi pembiayaan FLPP akan diubah menjadi 50 persen dari negara dan 50 persen dari perbankan agar tidak membebani keuangan negara, dengan penambahan masa atau tenor kredit menjadi 30 tahun agar angsuran menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat.
Saat ini, pembagian proporsi dukungan FLPP masih 75 persen berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 25 persen dari perbankan, dan tenor selama 20 tahun.
Program Tambah Kuota KPR FLPP Butuh Dana Rp 70 Triliun
Menanggapi kebijakan tersebut, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu menyampaikan kenaikan kuota FLPP menjadi 800 ribu unit akan memerlukan lebih dari Rp70 triliun, jauh lebih besar dari pendanaan FLPP saat ini hampir Rp30 triliun.
Jika skema pembagian proporsi diubah menjadi 50 persen-50 persen antara APBN dan perbankan, maka BTN memerlukan alternatif sumber pendanaan di luar dana pihak ketiga (DPK) reguler. Salah satunya yakni penerbitan obligasi dan pinjaman luar negeri yang nilainya bisa mencapai sekitar Rp10 triliun hingga Rp12 triliun.
“Selain menyiapkan DPK, kami ingin menerbitkan bonds (obligasi), namun usulan kami adalah supaya obligasi tersebut bisa dijamin pemerintah, sehingga akan lebih murah untuk kami dan size yang didapat bisa lebih besar. Kami juga akan mencari kanal-kanal pinjaman luar negeri dan saat ini kami sedang banyak bertemu dengan investor,” ujar Nixon.