Jadi Orang Terkaya ke-4 RI, Bagaimana Kondisi Bisnis Prajogo Pangestu?

Arief Kamaludin|KATADATA
Posisi taipan Prajogo Pangestu (tampak pada foto) tergeser oleh Sri Prakash Lohia dari orang terkaya nomor tiga di Indonesia menjadi peringkat empat.
Penulis: Sorta Tobing
4/9/2020, 14.12 WIB

Posisi taipan Prajogo Pangestu tergeser oleh Sri Prakash Lohia dari orang terkaya nomor tiga di Indonesia menjadi peringkat empat. Harta kekayaannya, melansir dari Forbes per Kamis (3/9), turun 3,75% menjadi US$ 4,9 miliar atau sekitar Rp 72,5 triliun (kurs Rp 14.788 per dolar AS). Sementara, total harta Sri Prakash, meskipun turun 0,89% tapi angkanya di US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 77 triliun.

Penurunan posisi tersebut seiring pula dengan anjloknya saham milik perusahaan Prajogo, yaitu PT Barito Pacific Tbk. Prajogo tercatat mengusai 72,15% saham perusahaan berkode efek BRPT itu.

Data dari Stockbit menunjukkan pergerakan saham BRPT sejak awal tahun mengalami tren penurunan. Hanya sepanjang April 2020 saja sahamnya bergerak positif. Dalam tiga bulan terakhir, BRPT telah anjlok 40,8% ke level Rp 780 per saham.

Sebagai perbandingan, saham perusahaan petrokimia lainnya, yaitu PT Aneka Gas Industri Tbk, (AGII) performanya lebih baik. Harganya naik sekitar 2,9% pada tiga bulan terakhir ke Rp 490 per saham.

Untuk kinerja keuangannya, pada semester I-2020, Barito Pacific mencatat laba bersih US$ 24,38 juta atau turun 64,01% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatannya pun turun 15,07% menjadi US$ 1,11 miliar.

Tekanan terkuat karena turunnya ekspor produk perusahaan dan permintaan dalam negeri. Pandemi corona sejak awal tahun ini telah membuat pelemahan aktivitas ekonomi dan konsumsi di berbagai sektor bisnis.

Melansir dari keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Direktur Keuangan Barito Pacific David Kosasih menyebut bisnis anak usahanya di sektor petrokimia, yaitu PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA), mulai pulih pada kuartal kedua dibandingkan triwulan I-2020.

“Terjadi peningkatan permintaan, terutama untuk produk polymer seiring meningkatnya aktivitas industri terutama di Tiongkok dan Asia Timur Laut (NEA),” katanya pada akhir Juli lalu.

Penurunan harga naphtha seiring dengan penurunan harga minyak mentah juga berkontribusi terhadap meningkatnya spread produk polymer. Harapannya, kondisi ini dapat berlanjut hingga akhir paruh kedua 2020.

Perusahaan masih melihat peluang pasar petrokimia domestik sangat besar. Barito Pacific berencana membangun kompleks petrokimia kedua dan meningkatkan kapasitas produksi Chandra Asri menjadi 4,2 juta ton per tahun.

Kinerja perusahaan juga akan terbantu dari anak usahanya di sektor energi terbarukan, yaitu Star Energy. Saat ini Star Energy merupakan pengelola panas bumi terbesar di Indonesia dengan kapasitas 875 megawatt. “Kami berencana menambah kapasitasnya sampai 1.200 megawatt dalam sepuluh tahun mendatang,” ucap David.

President Director Barito Pacific Agus Salim Pangestu sebelumnya mengatakan pandemi Covid-19 menjadi momentum tepat memasuki ekonomi hijau. "Namun perlu waktu dan komitmen," ujar dia pada webinar Katadata SAFE Forum 2020 bertajuk Shifting Paradigm: From Business as Usual to Sustainable pada 26 Agustus lalu.  

Agus menganalogikan jika saat ini Indonesia masih berada di gigi satu, maka perubahan di kala pandemi bisa menjadi titik tolak menuju gigi tiga. Namun, perubahan yang mendadak perlu kehati-hatian.

Sebagai contoh, berkurangnya aktivitas produksi kayu bukan berarti era penebangan pohon di Indonesia berakhir. Kenyatannya, industri kayu hanya berpindah dari Indonesia ke negara-negara lain di wilayah Afrika, Amerika Selatan, hingga Rusia. Sedangkan hutan di RI tetap dihantam industri lain seperti sawit dan batu bara. “Perubahan mendadak ini menciptakan masalah baru terhadap lingkungan,” kata Agus.

Tentang Prajogo Pangestu

Melansir dari berbagai sumber, Prajogo lahir di Sambas, Kalimantan Barat, 13 Mei 1944. Pria bernama asli Pang Djoem Phen ini berasal dari keluarga miskin keturunan Hakka, Tionghoa. Ayahnya, Phang Siu On, bekerja sebagai penyadap getah pohon karet.

Kondisi tersebut membuat Prajogo terpaksa putus sekolah dan merantau ke Jakarta. Tapi di ibu kota tak ada pekerjaan untuknya. Ia pun kembali ke kampung halaman dan menjadi sopir angkutan umum jalur Singkawang-Pontianak.  

Pada 1960, mengutip Kumpauran.com, ia bertemu dengan pengusaha Malaysia, Bong Su On alias Burhan Uray. Mulai dari sinilah nasibnya berubah. Prajogo lalu bekerja di perusahaan Burhan, PT Djajanti Group, pada 1969.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menjabat General Manager Pabrik Plywood Nusantara di Gresik, Jawa Timur. Hanya setahun ia memegang jabatan itu dan mencoba berbisnis sendiri. Dengan modal pinjaman dari Bank BRI, Prajogo membeli perusahaan kayu CV Pacific Lumber Coy.

Prajogo kemudian mengganti nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific Lumber. Dari sinilah bisnisnya terus berkembang. Ia kemudian mendirikan perusahaan bahan baku plastik Chandra Asri dan Tri Polyta Indonesia.

Krisis moneter 1997-1998 sempat membuat perusahaannya morat-marit. Utang Chandra Asri dan Tri Polyta melonjak drastis. Prajogo memperbaiki bisnisnya dengan menggabungkan perusahaan-perusahaan miliknya dalam satu induk usaha, yaitu Barito Group.

Pada Agustus 2019, Presiden Joko Widodo memberikan Prajogo penghargaan Bintang Jasa Utama. Ia dianggap sebagai tokoh nasional yang berjasa bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa serta negara.