Holding asuransi dan penjaminan milik pemerintah, Indonesia Financial Group (IFG), sudah terbentuk awal tahun ini dengan menggabungkan beberapa perusahaan di bawah PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Meski begitu, belum sah rasanya jika holding ini tidak memiliki bisnis yang bergerak di industri asuransi jiwa.
"IFG itu ada asuransi semuanya, tapi kurang asuransi jiwa," kata Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (20/10). Ada beberapa asuransi yang berada di bawah IFG saat ini di antaranya, PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Jasa Raharja, dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo).
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pendapatan premi bruto dari asuransi jiwa per 2019 mencapai Rp 185 triliun. Nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan premi bruto dari asuransi umum yang hanya Rp 69 triliun. Potensi inilah yang seharusnya diambil oleh IFG sebagai holding asuransi.
IFG merasa pembentukan perusahaan asuransi jiwa di bawah holding merupakan strategi penting agar bisa memberikan perubahan di industri ini. "Oleh karenanya, di tahun ini kami berencana untuk membangun asuransi jiwa yang baru, yang akan memberikan warna baru untuk industri asuransi jiwa," kata Pantro menambahkan.
Nah, bagaimana bisnis perusahaan asuransi yang rencananya bernama IFG Life ini?
Pantro menjelaskan, memang produk asuransi jiwa di Indonesia memiliki peminat yang besar. Namun, jika dilihat lebih detail lagi, ternyata 65% dari asuransi jiwa itu merupakan produk dari bisnis investasi berupa unit link. Angka ini mengacu data OJK per 2018. "Market di indonesia, sebagian besar dari produk asuransi jiwa itu justru sifatnya investasi," kata Pantro.
Berangkat dari data tersebut, IFG yang diberikan mandat memberikan perubahan terhadap industri asuransi, merasa penting untuk mengembalikan marwah asuransi kepada proteksi. Sehingga, IFG Life nanti tidak fokus pada produk-produk yang sifatnya investasi seperti unitlink.
Pantro percaya, nantinya IFG Life memiliki bisnis model yang berbeda dengan yang ada sekarang. Perusahaan ini akan benar-benar fokus memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya asuransi jiwa, kesehatan, dan mulai memperkenalkan pengelolaan dana pensiun.
Untuk langkah awal, IFG Life belum berencana menjajakan produk asuransi proteksinya secara luas. IFG Life akan terjun ke ekosistem yang ada di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terlebih dahulu. Salah satunya model distribusi yang berbeda dengan produk bancassurance dan agen asuransi.
"Yang kami lakukan adalah business-to-business (B2B) dengan BUMN, dimana kami bisa garap BUMN sebagai grup polis dengan juga menggandeng pegawainya dan customer-nya. Kami akan mulai dengan ekosistem BUMN, sebelum kami keluar ke market bebas," kata Pantro.
Di Indonesia, pasar produk investasi di asuransi jiwa memang mendominasi. Namun, di negara-negara yang sudah matang seperti Filipina, Singapura, atau India, produk ini sudah mulai ada pergeseran minat masyarakat dari produk-produk investasi menjadi produk proteksi. IFG Life ingin menjadi salah satu pionir kebangkitan kembali industri asuransi jiwa di Indonesia.
Selain fokus pada lini bisnis perusahaan asuransi jiwa dengan ekosistem awal yaitu BUMN, perusahaan juga bakal menggarap bisnis dana pensiun lembaga keuangan (DPLK). IFG Life bakal memperkenalkan konsep DPLK yang ada di dalam ekosistem BUMN dengan melakukan konsolidasi dari yang sudah ada.
IFG Life juga bakal kedatangan portofolio dari nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang sudah direstrukturisasi. Nasabah Jiwasraya yang gagal bayar, bakal direstrukturisasi besar-besaran, terutama untuk nasabah dengan polis asuransi berjenis bancassurance, yaitu JS Saving Plan.
Restrukturisasi ini salah satunya untuk menurunkan janji bunga menjadi jauh lebih rendah dari sebelumnya. Nantinya, nasabah Jiwasraya akan dialihkan menjadi berada di bawah IFG Life. IFG Life mengambil nasabah yang sudah direstrukturisasi agar portofolionya dan liabilitas yang sehat.
"Sehingga pemegang polis merasa aman sesudah menjadi bagian IFG Life, semua kewajiban akan bisa dipenuhi," kata Pantro.
Sementara, untuk penempatan investasi, Pantro mengaku belajar dari kesalahan yang dilakukan beberapa asuransi sebelumnya dari sisi manajemen investasi maupun tata kelola. Manajemen risiko yang akan dijalankan akan lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian.
IFG Life sudah disiapkan dalam 4-5 bulan terakhir dan ditargetkan bisa terbentuk pada Desember 2020. Bukan hanya soal perizinan, persiapan operasional, model bisnis, sumber daya manusia, dan teknologi juga sudah disiapkan.
Bahana, Induk Holding IFG Beraset Rp 72,5 triliun
IFG ditetapkan sebagai holding perasuransian dan penjaminan BUMN, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2020 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal Saham PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang sekarang menjadi IFG. Dengan konsolidasi, BPUI memiliki aset Rp 72,5T per Maret 2020 dengan sembilan anggota holding.
Anggota holding tersebut di antaranya PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), PT Jasa Raharja, dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), PT Bahana Sekuritas, PT Bahana TCW Investment Management, PT Bahana Artha Ventura, PT Grahaniaga Tata Utama dan PT Bahana Kapital Investa.
Dengan penggabungan ini aset IFG mencapai Rp 36,7 triliun dengan total pendapatan Rp 4,2 triliun dan laba bersih Rp 536 miliar. Padahal, saat masih bernama Bahana, total asetnya hanya Rp 4,7 triliun dengan ekuitas Rp 1,3 triliun. Pendapatan Bahana pun hanya Rp 127 miliar dan laba bersihnya Rp 19 miliar.
Karena banyaknya anggota holding di bawahnya, IFG mengemban peran tidak hanya sebagai strategic holding, namun juga sebagai quasi operating holding. Holding ini sudah melakukan perumusan strategis, seperti refocusing segmen produk di masing-masing anak perusahaan.
"Sebelum bergabung, asuransi-asuransi ini kadang perang harga, terjadi kompetisi. Setelah bergabung dengan holding, ini menjadi tugas utama holding mencocokan produk tertentu agar bisa menjadi unggulan dari masing-masing anak perusahaan," kata Direktur Keuangan dan Umum IFG Rizal Ariansyah.
Selain itu, dengan adanya holding, bisa meningkatkan kredibilitas karena memiliki modal yang jauh lebih besar. Sehingga IFG bisa memaksimalkan manajemen investasi untuk membangun investasi di antara anak-anak usaha agar mendapatkan yield yang lebih tinggi dengan mengedepankan prudensial.