PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sedang membutuhkan arus kas (cash flow) yang besar karena terbelit kasus hukum terkait perpajakan. Potensi denda yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kepada PGN mencapai Rp 3,06 triliun.

Berdasarkan surat penjelasan yang diunggah di keterbukaan informasi, Selasa (2/2), PGN menjelaskan kasus ini membutuhkan cash flow besar. Manajemen berupaya menyampaikan permohonan pembayaran secara angsuran atau cicilan ke DJP.

"Kasus perpajakan tersebut membutuhkan cash flow yang cukup besar bagi perseroan," ujar Sekretaris Perusahaan Rachmat Hutama dikutip dari keterbukaan informasi, Selasa (2/2).

Perusahaan publik berkode emiten PGAS ini mengaku masih memiliki fasilitas pinjaman (standby loan) yang mencukupi. Jadi, manajemen memastikan kegiatan operasional perusahaan masih dapat berjalan baik.

Terkait dengan langkah tindak lanjut dari PGN terhadap kasus pajak dengan DJP, PGN berencana mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Proses permohonan saat ini masih dalam tahap evaluasi dan kajian internal anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut.

Sampai saat ini, perseroan telah menerima salinan Putusan Mahkamah Agung secara resmi dari Pengadilan Pajak untuk sembilan perkara pajak. Perkara itu terdiri dari lima perkara pajak terkait PPN Gas Bumi untuk periode 2012, lalu tiga perkara periode 2013, dan satu perkara pajak terkait pajak lainnya untuk periode 2012.

Potensi denda terkait dengan 49 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang perkaranya diajukan oleh DJP sebagai Pemohon Peninjauan Kembali (PK) ke MA adalah sebesar Rp 3,06 triliun.

Berdasarkan laporan keuangan PGN hingga triwulan III 2020, terlihat kas dan setara kas yang dimiliki perusahaan nilainya mencapai US$ 1,19 miliar atau setara dengan Rp 16,72 triliun. Nilai tersebut, tercatat naik dibandingkan posisi pada periode sama tahun sebelumnya senilai US$ 1,04 miliar.

Kronologi Kasus Pajak PGN dengan DJP

Pokok sengketa pajak PGN antara lain berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK 252 Tahun 2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi. Ini terjadi pada transaksi di tahun pajak 2012.

Lalu, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan. Pada Juni 1998 PGAS menetapkan harga gas dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, yang sebelumnya harga gas dalam Rp/M3 saja.

DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN. sementara PGN berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang seharusnya tidak dikenai PPN.

"Atas sengketa di atas, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp 4,15 triliun untuk 24 masa pajak," kata manajemen PGN dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia yang diunggah 30 Desember 2020.

Selain itu, masih terdapat sengketa PGAS dengan DJP untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 Miliar.

Sehubungan dengan putusan MA atas sengketa pajak dengan DJP dalam melaksanakan kegiatan usahanya yaitu penjualan gas bumi, PGAS merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Industri Minyak dan Gas Bumi dan peraturan di bidang perpajakan yang dalam hal ini adalah penjualan gas bumi melalui infrastruktur jaringan pipa yang tidak dikenai PPN sesuai Pasal 4A ayat 2 huruf a UU PPN.

"Selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas bumi sesuai dengan peraturan tersebut," kata manajemen PGAS dalam siaran pers, Selasa (5/1).

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, Kementerian BUMN selaku pengendali PGAS akan membicarakan kasus ini dengan Kementerian Keuangan. Arya mengatakan, sebelumnya Kementerian Keuangan sudah mengakui, objek yang dipermasalahkan ini, bukan merupakan objek pajak.

Langkah selanjutnya, Kementerian BUMN meminta PGAS untuk memperhatikan beberapa kasus yang mirip. Dengan dasar tersebut, maka PGAS akan melakukan langkah-langkah hukum. Misalnya melakukan langkah hukum peninjauan kembali karena sudah diakui bahwa ini bukan objek pajak.

"Kenapa bukan objek pajak? Karena selama ini PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas tersebut. Kalau tadi misalnya PGN itu mengutip pajak dari konsumennya, tidak membayar kepada negara untuk pajaknya, mungkin PGN yang salah, " kata Arya kepada awak media, Senin (4/1).

Arya mengatakan, persoalan sengketa ini bukan soal lalai dalam membayar pajak, melain soal perbedaan asumsi terhadap objek. Kementerian BUMN optimis perkara ini tidak akan membuat PGAS rugi karena ada langkah-langkah yang dilakukan. "Kami yakin di Kemenkeu akan mendukung juga untuk hal ini," kata Arya.