Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai merger 3 bank syariah BUMN menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk, bisa menjawab beberapa tantangan industri syariah Tanah Air. Salah satunya, inklusi dan literasi keuangan syariah masyarakat yang masih rendah.
"Selama ini, tantangan cukup besar karena penduduk masih belum begitu paham, baik dari produk keuangan maupun produk keuangan yang berprinsip syariah," kata Wimboh dalam pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Kamis (4/2).
Berdasarkan data OJK, tingkat inklusi keuangan syariah masyarakat Indonesia hanya sebesar 9,1%, sedangkan tingkat literasinya hanya 8,93%. Angka itu jauh di bawah tingkat inklusi keuangan konvensional yang sebesar 76,19% dan tingkat literasi 38,03%.
Tantangan lain yang disebutkan oleh Wimboh adalah masyarakat mendambakan produk-produk keuangan syariah yang lebih murah dibandingkan dengan konvensional. Meski begitu, kualitas bank syariah harus tetap bagus dan layanannya nyaman.
Daya saing produk dan layanan keuangan syariah, dinilai belum setara dibandingkan keuangan konvensional. Pasalnya, model bisnis dan variasi produk syariah yang relatif masih terbatas.
Terbatasnya sumber daya manusia dan kapasitas industri keuangan syariah juga menjadi tantangan tersendiri. SDM syariah yang berkualitas dengan kapasitas yang tinggi, sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing keuangan syariah terutama dalam mengakselerasi digitalisasi produk dan layanan saat ini.
Selain itu, industri keuangan syariah juga belum sepenuhnya terintegrasi dalam ekosistem industri halal. Hal itu mempengaruhi peningkatan market share keuangan syariah yang terbatas, dimana pada Desember 2020 masih sebesar 9,9%.
Wimboh mengatakan, tantangan-tangan tersebut bisa dijawab, dalam praktik maupun teori, kalau Indonesia memiliki bank syariah raksasa. Untuk itu, penggabungan Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah, bisa menjadi jawabannya.
"Raksasa telah hadir, menjawab tuntutan masyarakat. Sehingga saya apresiasi lahirnya BSI," kata Wimboh.
Wimboh mengatakan, pekerjaan BSI masih banyak untuk mewujudkan mimpi masyarakat dalam menerima manfaat seperti kualitas, biaya murah, dan jaringan luas. Tidak hanya itu, BSI juga bisa menjadi role model bagi bank syariah lain.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan, efek penggabungan tiga bank tersebut terhadap saham sangat positif. Hal itu terlihat dari harga saham BSI dengan kode BRIS yang naik hingga 5 kali lipas sejak pencatatan perdana saham alias initial public offering (IPO).
BRI Syariah sebagai entitas penerima merger, mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia sejak 9 Mei 2018 silam. Saat itu, harga saham BRI Syariah senilai Rp 510 per saham. Sejak saat itu, harganya meroket hingga 439% menjadi Rp 2.750 pada Rabu (3/2).
"Selain itu market cap saat IPO hanya Rp 4,96 triliun. Per 3 Februari 2021, tentunya dengan tambahan saham dari 2 bank yang lain, market cap BSI naik puluhan kali lipat mencapai Rp 112,8 triliun," kata Hery.
Melihat kinerja saham yang positif di tengah pandemi Covid-19, Hery berharap BRIS dapat menjadi primadona di Bursa serta dapat masuk ke indeks IDX BUMN 20. "Kami berharap kinerja ini semakin mendorong dan menginspirasi sektor keuangan dan perusahaan keuangan syariah untuk melantai di Bursa," katanya.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi mengatakan, saat ini saham BSI masuk ke dalam 10 saham syariah dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di antara saham syariah yang tercatat di Bursa. Saham BSI dinilai menjadi pilihan investasi yang sangat menarik bagi investor.
"Kehadiran BSI memberikan harapan yang besar dalam mendorong kemajuan dan keuangan syariah nasional. Termasuk penguatan aset dan kapitalisasi dalam industri pasar modal syariah Indonesia," kata Inarno.
Selama 5 tahun terakhir, pasar modal syariah Indonesia mengalami pertumbuhan. Jumlah saham syariah meningkat sebesar 33%, dari 318 saham di akhir 2015 menjadi 426 saham syariah per 22 Januari 2021. Jumlah tersebut, hampir mencapai 60% dari total emiten yang ada di Bursa saat ini yang berjumlah 727 emiten.
Dalam 5 tahun terakhir, investor saham syariah tercatat meningkat 1.650%, dimana per Desember 2020 investor saham syariah mencapai 85 ribu investor. Jumlah tersebut sekitar 5,5% dari total investor saham Indonesia. "Artinya, ruang untuk growth itu masih besar sekali untuk investor saham syariah," kata Inarno.