PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengaku terus berupaya memitigasi risiko terlilit utang, salah satunya bernegosiasi dengan lessor pesawat terkait pelunasan pembayaran kewajiban.
Lessor pesawat merupakan perusahaan yang khusus bergerak di bidang jasa penyewaan pesawat atau langsung dengan pabrikan pesawat.
Hal itu disampaikan manajemen Garuda Indonesia dalam keterangan tertulis sebagai penjelasan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (27/5).
"Perusahaan telah dan terus melakukan upaya-upaya dalam rangka memastikan risiko solvabilitas dapat dimitigasi dengan sebaik-baiknya," ujar manajemen Garuda Indonesia dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, emiten berkode saham GIAA ini juga melakukan negosiasi terkait langkah restrukturisasi pinjaman perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
Perusahaan maskapai penerbangan milik negara tersebut juga melakukan restrukturisasi utang usaha, termasuk terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta mitra usaha lainnya.
"Seluruh upaya yang dilakukan Garuda pada prinsipnya tetap mempertimbangkan kondisi kinerja dan likuiditas perusahaan yang terdampak signifikan, imbas situasi pandemi Covid-19," ujar manajemen.
Sebelumnya, beredar rekaman pernyataan Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra kepada karyawan perusahaan yang menyebutkan bahwa kondisi kinerja keuangan Garuda sedang memprihatinkan.
Disebutkan, pendapatan yang dikantongi oleh maskapai milik pemerintah itu tidak sebanding dengan jumlah yang harus dibayarkan kepada pihak-pihak di luar Garuda. Jumlah utang Garuda juga semakin membengkak di tengah pengurangan jumlah armada hingga 50% di masa pandemi.
"Fakta yang ada, sampai hari ini utang kita itu sudah mencapai Rp 70 triliun dan setiap bulan kita akan menambah terus utang lebih dari Rp 1 triliun," kata Irfan kepada karyawan Garuda.
Irfan mengatakan, beberapa kewajiban yang harus dikeluarkan oleh Garuda di antaranya untuk sewa pesawat, perawatan (maintenance), biaya avtur, dan pegawai. Khusus biaya karyawan, jumlah pengeluarannya mencapai US$ 20 juta atau sekitar Rp 287 miliar per bulan.
Berbagai beban biaya ini membuat arus kas perusahaan menjadi negatif. Kondisi tersebut tidak bisa berlangsung terus sambil berharap jumlah penumpang kembali normal seperti pada saat sebelum adanya Covid-19.
Untuk itu, perusahaan harus melakukan restrukturisasi yang menyeluruh dengan berbasis pada jumlah pesawat yang akan digunakan oleh Garuda. Dengan melihat pergerakan jumlah penumpang saat ini, maka manajemen akan memangkas jumlah pesawat sekitar 50%.
Implikasi dari pengurangan jumlah pesawat yang signifikan tersebut, mempengaruhi infrastruktur dan jumlah pegawai di Garuda. Artinya, jumlah infrastruktur dan pegawai saat ini, tidak fit dengan jumlah pesawat yang hanya sekitar 70 armada tersebut.
"Tidak ada pilihan lain untuk eksekusi dan menjalankan sebuah aksi yang tidak disukai oleh siapapun, yaitu melakukan upaya-upaya menurunkan jumlah pegawai," kata Irfan.
Menanggapi rekaman audio yang beredar tersebut, manajemen Garuda membenarkan bahwa rekaman itu merupakan diskusi internal perusahaan yang dilakukan manajemen bersama karyawan. Segala informasi yang disebutkan dalam rekaman audio dilakukan dengan tujuan memberi gambaran awal kepada karyawan dalam pengambilan keputusan terkait program pensiun dini.