Thai Airways Dapat Restu Pengadilan Restrukturisasi utang Rp 184 T

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi uang Dollar (30/7).
Penulis: Lavinda
16/6/2021, 11.30 WIB

Thai Airways International Pcl memperoleh persetujuan dari Pengadilan Thailand untuk merestrukturisasi utang yang mencapai US$ 12,9 miliar atau setara Rp 184 triliun (Kurs= Rp 14.268).

Putusan pengadilan membuat maskapai nasional Negeri Gajah Putih ini memiliki status perlindungan pailit dan memuluskan langkah untuk merealisasikan rencana restrukturisasi utang yang dianggap penting. Sebelumnya, Thai Airways mencatat rekor kerugian sekitar US$4,5 miliar pada 2020.

"Kami puas dengan keputusan itu," kata Somboon Sangrungjang dari Firma Hukum Kudun and Partners, yang mewakili 87 koperasi simpan pinjam, dikutip dari Reuters, Rabu (16/6).

Dalam prosesnya, sidang sempat ditunda karena dua kreditur mengajukan protes terhadap rencana restrukturisasi tersebut. Namun akhirnya, putusan Pengadilan Kepailitan Pusat di Bangkok tersebut sejalan dengan rencana restrukturisasi yang sebelumnya disetujui oleh mayoritas kreditur. 

Perusahaan membentuk komite yang akan menangani proses restrukturisasi utang tersebut. Komite beranggotakan lima orang, termasuk Kepala Eksekutif Thai Airways Chansin Treenuchagron dan mantan CEO perusahaan Piyasvasti Amranand.

Sebelumnya, Piyasvasti menjadi pucuk pimpinan Thai Airways pada periode 2009-2012, ketika perusahaan membukukan laba untuk terakhir kalinya.

Kinerja keuangan maskapai merosot jauh sebelum pandemi Covid-19, dan membukukan kerugian usaha hampir setiap tahun setelah 2012. Thai Airways juga menghentikan banyak rute penerbangan di seluruh dunia.

Somboon menyampaikan rencana restrukturisasi utang sangat bergantung pada perpanjangan masa jatuh tempo kredit, dan konversi utang menjadi saham, dan pembatasan sebagian besar pembayaran bunga yang terlambat. Tak hanya itu, maskapai juga mengutangi utang dengan lessor pesawat.

Dalam konferensi pers, Chief Financial Officer Thai Airways Chai Eamsiri mengatakan, pihaknya membatalkan perjanjian sewa 16 jet dan menegosiasikan utang perusahaan. Pada Maret lalu, manajemen perusahaan berencana mengurangi jumlah armadanya dari 103 pesawat saat ini menjadi 86 jet pada 2025. Hal itu membuat perusahaan mampu berhemat biaya 30 miliar Baht.

Analis Maverick Consulting Group Ben Kiatkwankul mengatakan persoalan Thai Airways berada pada inefisiensi internal terkait anggaran operasional serta persaingan dengan maskapai lain untuk rute jarak jauh.

"Tantangan Thai Airway sebagian besar adalah institusional dan inefisiensi. Maskapai seharusnya tidak terlalu bergantung pada dukungan pemerintah untuk menangkal pengaruh eksternal dan manajemen profesional," katanya.

Lembaga keuangan pemerintah dan swasta disebut-sebut sedang berdiskusi untuk menyuntikkan modal senilai 50 miliar Baht guna mendukung arus kas perusahaan. Sampai saat ini, Pemerintah Thailand menggenggam 47,86% saham Thai Airways.