Mantan pegawai PT Merpati Nusantara Airlines yang tergabung dalam Paguyuban Pilot Ex Merpati (PPEM) mengaku belum memperoleh hak uang pesangon dan pencairan pensiun senilai total Rp 413,05 miliar. Maka itu, PPEM mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo terkait permasalahan hak pekerja yang tak kunjung mendapat kepastian sejak 2016.
Ketua PPEM Anthony Ajawaila mengatakan, manajemen Merpati belum memenuhi kewajiban pembayaran cicilan uang pesangon dari 1.233 pegawai senilai Rp 318,17 miliar. Selain itu, manajemen juga belum memenuhi hak manfaat pensiun berupa, solvabilitas dari likuiditas 1.744 pensiunan senilai Rp 94,88 miliar.
"Kami sudah menempuh berbagai upaya sejak 2016, tetapi hingga kini tidak ada kepastian kapan hak pesangonnya akan dibayarkan," kata Anthony dalam siaran pers terkait dengan pengiriman surat terbuka kepada Jokowi, Rabu (23/6).
Ia mengatakan, uang pesangon yang belum dibayarkan oleh maskapai milik negara tersebut menjadi masalah di setiap keluarga pegawai. Mulai dari adanya perceraian, anak sakit, putus sekolah, alih kerja, tukang bangunan, dan lainnya.
Dalam surat terbuka dituliskan, jika Merpati akhirnya harus ditutup atau dilikuidasi oleh negara, maka seluruh berkas karyawan juga tidak memiliki daya dan kuasa untuk mencegahnya. Tapi ia ingin Merpati tidak lalai dalam kewajibannya memenuhi hak-hak bekas pegawainya.
“Kami memohon dengan sangat, perhatian serta pertolongan Bapak Presiden untuk membantu dapat segera dibayarkannya hak pesangon, begitupun hak pensiun kami yang sampai saat ini tidak ada kepastiannya," ujar Anthony seperti yang terdapat dalam surat terbuka.
Sebelumnya, seluruh unsur pegawai termasuk pilot telah melakukan berbagai upaya untuk menuntut hak-haknya. Bekas pegawai ini sudah sejak 2013 tidak menerima gaji. Lalu, pada 2016, pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menetapkan program restrukturisasi karyawan.
Program restrukturisasi ini berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan janji pembayaran pesangon yang dicicil dalam 2 tahap. Cicilan pesangon rahap pertama, dibayarkan sebesar 50%. Sementara cicilan tahap kedua diterbitkan menjadi Surat Pengakuan Utang (SPU) yang dijanjikan lunas pada Desember 2018.
"Janji pembayaran cicilan pesangon tahap kedua tidak pernah terjadi," kata Anthony.
Ia heran, salah satu kreditur Merpati yaitu PT Parewa Catering mengajukan PKPU di Pengadilan Niaga Surabaya. Pada November 2018 keluarlah keputusan damai, homologasi diterima, dan segala yang berbentuk utang menjadi masuk homologasi, termasuk SPU pegawai.
Masalahnya, proses homologasi sampai saat ini menjadi tidak jelas penyelesaiannya karena investor Merpati pendukung PKPU, masuk penjara karena kasus penipuan. Izin terbang (AOC) Merpati pun tidak pernah terbit, sehingga eksekusi keputusan Pengadilan Niaga Surabaya tidak pernah bisa dilaksanakan.
"Sehingga cicilan pesangon tahap kedua menjadi tidak jelas kapan dibayarkan," kata Anthony.