Nasib Saham Ritel Tahun Ini Bergantung pada Aturan PPKM

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.
Sejumlah warga memilih baju lebaran di Ramayana Plaza Andalas Padang, Sumatera Barat, Kamis (6/5/2021). Untuk mengantisipasi lonjakan pengunjung, pusat perbelanjaan yang memiliki kapasitas 4.000 orang tersebut membatasi pengunjung yang datang hanya boleh 2.000 orang dan tetap memberlakukan protokol kesehatan.
25/6/2021, 13.22 WIB

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya menilai, dampak pandemi Covid-19 masih menjadi tantangan terberat industri ritel tahun ini. Apalagi, pemerintah kembali menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sekala mikro di seluruh Indonesia per 1 Juni 2021.

“Kami percaya dampak Covid-19 masih dirasakan secara luas meskipun lalu lintas ke peritel pulih cukup signifikan dari level terendah selama pandemi awal,” kata Christine kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Perpanjangan aturan PPKM dari pemerintah semakin memperpanjang krisis dan menjadikan tantangan bagi industri ritel tahun ini. Ditambah lagi, perilaku konsumen turut mengalami perubahan. Pada saat yang sama, peritel dan produsen juga menyesuaikan diri menyikapi dampak pandemi dan beradaptasi dengan aturan PPKM.

Untuk tahun ini, emiten sektor ritel diyakini masih akan melakukan efisiensi dengan mengontrol biaya secara ketat. Itu termasuk menekan biaya tenaga kerja, perjalanan bisnis, serta biaya sewa selama penerapan PPKM yang terbaru.

“Pendekatan manajemen yang fleksibel sangat penting untuk mengendalikan biaya tenaga kerja, biaya sewa dan area yang tidak menghasilkan pendapatan,” ujarnya.

Ke depan, Christine menekankan kalau PPKM akan berperan besar terhadap prospek kinerja penjualan ritel. Meskipun, secara bertahap lalu lintas penjualan ritel mulai kembali. Untuk itu, prospek saham ritel tahun ini cenderung netral, berkaca dari tren daya beli masyarakat yang belum pasti.

Di samping itu, Christine belum melihat dampak paket stimulus dari pemerintah secara signifikan mampu meningkatkan belanja penduduk berpenghasilan rendah di sisa 2021. Meskipun begitu, dia memperkirakan lalu lintas penjualan ritel secara bertahap akan membaik di semester kedua tahun ini, seiring program vaksinasi.

Christine mengatakan, sepanjang kuartal pertama tahun ini beberapa emiten ritel pantauannya mencatatkan penurunan pendapatan. Namun, beberapa emiten ritel diperkirakan mampu membukukan pendapatan lebih tinggi di kuartal kedua.

“Itu didukung low base effect dan pulihnya lalu lintas toko. Hanya saja, tingkat pemulihan belum sampai pada level sebelum pandemi karena jam operasional Mall yang dibatasi pemerintah,” ujarnya.

Adapun untuk prospek saham sektor ritel, Christine merekomendasikan beli untuk saham PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) dengan target harga Rp 950 per saham. Sementara PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) bisa buy dengan target Rp 960 per saham.

Untuk saham PT Ace Hardware Indonesia (ACES) direkomendasikan tahan atau hold dengan target harga Rp 1.400 per saham akhir tahun ini. Sedangkan PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) bsia jual dengan target harga akhir tahun Rp 1.300 per saham.

“Ramayana PBV paling murah, cash mereka juga banyak ditambah lagi emiten berencana untuk melakukan buyback,” ujarnya kepada Katadata.co.id.

Adapun alasan saham MAPI masih dilirik didukung membaiknya pendapatan emiten sejak akhir tahun lalu. Christine juga menambahkan target market MAPI masih cukup resilient (kemampuan bertahan) untuk mendukung kinerja emiten tahun ini.

Tahun lalu, RALS membukukan rugi bersih sebanyak Rp 138,87 miliar, dengan pendapatan yang turun 54,02% menjadi Rp 2,57 triliun. Kondisi tersebut berlanjut di kuartal pertama 2021, di mana emiten membukikan rugi bersih Rp 85,7 miliar, dengan pendapatan kotor Rp 770 miliar atau turun 43,2% secara tahunan.

Berbanding terbalik, MAPI justru mencatatkan lonjakan laba bersih di kuartal pertama sebanyak 222,91% menjadi Rp 26,09 miliar. Padahal, emiten yang menaungi Starbucks, Marks & Spencer, Zara hingga Adidas mencatatkan penurunan pendapatan 8,66% secara tahunan menjadi Rp 4,3 triliun.