Menilik Prospek Jangka Panjang Saham Bukalapak di Lantai Bursa

Google Play Store
Ilustrasi platform Bukalapak
Penulis: Lavinda
14/7/2021, 07.10 WIB

PT Bukalapak.com baru-baru ini mengumumkan rencana penjualan 25,76 miliar saham perdana ke publik alias initial public offering (IPO). Jumlahnya 25% dari total saham Bukalapak dengan target perolehan dana jumbo hingga Rp 21,9 triliun.

Unicorn bidang perdagangan elektronik (e-commerce) itu sedang menjalankan masa penawaran awal, yakni pada 9 Juli - 19 Juli 2021, sebelum akhirnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Agustus 2021.

Dalam prospektus ringkas yang dipublikasikan Jumat (9/7), Bukalapak menawarkan saham kepada publik dengan kisaran harga Rp 750 - Rp 850 per saham. Bagaimana prospek sahamnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang?

Analis UOB Kay Hian Sekuritas Stevanus Juanda memperkirakan Bukalapak akan mengalami kelebihan permintaan dan harga saham diperkirakan memiliki performa yang baik setelah penawaran umum perdana saham atau Initial Public Offering (IPO).

Kendati demikian, menurut dia, entitas PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) ini masih meregup kerugian sejak awal berdiri. Maka itu, bebannya adalah mencari strategi yang tepat agar mulai menghasilkan keuntungan.

"Bebannya adalah bagaimana mulai menghasilkan keuntungan, katakanlah dalam waktu tiga sampai lima tahun setelah IPO," ujar Stevanus dalam riset tertulisnya, Selasa (13/7).

Stevanus menyampaikan penggerak pendapatan Bukalapak akan berasal dari pendapatan marketplace. Tepatnya, berasal dari komisi para vendor yang memanfaatkan aplikasi Bukalapak. Komisi diperoleh Bukalapak ketika vendor menjual barangnya secara daring (online) kepada pelanggan. Pendapatan lain berasal dari iklan vendor dan pemenuhan logistik.

Sumber pendapatan selanjutnya adalah dari mitra. Hal ini akan datang dari prinsipal, seperti Unilever yang menjual ke vendor yang lebih kecil melalui platform Bukalapak.

"Sumber lain dari Buka Pegadaian. Fitur ini akan menjadi sumber penjualan dari produk Bukalapak sendiri atau layanan vendor. Nanti dari margin kotor dari produk tersebut," ujar Stevanus.

Di sisi lain, Bukalapak akan menanggung beban biaya yang cukup besar dari voucher diskon dan subsidi. Tingkat pengeluaran ini akan bergantung pada persaingan dengan marketplace lain, seperti Shopee atau Tokopedia akan terus agresif dalam memberi insentif kepada pelanggan.

"Beban lain berasal dari pengeluaran internet dan penyimpanan data yang terus meningkat. Jika Bukalapak dapat membangunnya sendiri, maka hal itu akan menghemat dana," kata Stevanus.

Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan Bukalapak tumbuh dari Rp 292 miliar pada 2018, menjadi Rp 1 triliun pada 2019 dan Rp 1,3 triliun pada 2020. Seperti banyak perusahaan e-commerce di Indonesia, Bukalapak masih membakar uang dan mencatat kerugian.

Rugi bersih pada 2020 lalu mencapai Rp 1,35 triliun, atau lebih rendah dari kerugian tahun sebelumnya Rp 2,8 triliun. Arus kas operasi negatif Rp 1,35 triliun, atau lebih baik dari posisi tahun sebelumnya negatif Rp 3 triliun.