PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berupaya menyelesaikan masalah dengan penyewa pesawat (lessor) Leasing S.A.S dan Atterisage S.A.S (Goshawk) melalui upaya restrukturisasi kredit. Hal ini dilakukan di luar proses hukum yang berlangsung di Pengadilan Arbitrase Internasional London (LCIA).
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan saat ini perusahaan terus menjalin komunikasi intensif dengan Goshawk. Komunikasi dilakukan guna menjajaki kesepakatan terbaik dalam upaya penyelesaian kewajiban usaha Garuda Indonesia di luar proses hukum yang telah berlangsung.
"Upaya tersebut salah satunya dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan penjajakan skema restrukturisasi maupun strategi alternatif penunjang lainnya," kata Irfan kepada Katadata.co.id, Jumat (10/9).
Melalui komunikasi yang sejauh ini telah terjalin dengan baik, Garuda Indonesia cukup optismistis penjajakan tersebut dapat menghasilkan kesepakatan terbaik bagi seluruh pihak. Hal ini khususnya dengan memperhatikan aspek keberlangsungan usaha di tengah tekanan kinerja industri penerbangan di masa pandemi Covid-19.
Dengan adanya putusan LCIA tersebut, Irfan memastikan seluruh aspek kegiatan operasional penerbangan Garuda Indonesia akan tetap berlangsung dengan normal. Emiten berkode saham GIAA ini berkomitmen untuk senantiasa mengoptimalkan ketersediaan layanan penerbangan yang aman, nyaman dan sehat bagi seluruh penumpang.
Sebelumnya, maskapai milik pemerintah ini kalah dalam kasus gugatan pembayaran uang sewa pesawat di LCIA. Dengan putusan tersebut, Garuda wajib membayarkan uang sewa pesawat, kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian sewa pesawat, dan pembayaran bunga keterlambatan kepada penggugat yakni lessor Goshawk.
Irfan mengatakan Garuda Indonesia sepenuhnya akan menghormati dan menyikapi secara bijak hal-hal yang telah ditetapkan LCIA dalam kewenangannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa arbitrase internasional.
"Untuk itu, kami akan melakukan koordinasi dengan kuasa hukum yang telah ditunjuk untuk mempertimbangkan langkah yang dapat dilakukan oleh Garuda Indonesia," kata Irfan.
Dalam laporan keuangan periode Juni 2021, Garuda menjelaskan, gugatan ini bermula pada 27 Maret 2020. Helice mengajukan permohonan kepada Pengadilan Belanda untuk melakukan sita jaminan atas dana yang ada pada rekening Garuda di Amsterdam yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Belanda.
Helice juga mengajukan gugatan pokok perkara kepada Perusahaan di Pengadilan London. Pada 20 Januari 2021, Pengadilan London mengabulkan eksepsi kompetensi absolut (challenge of jurisdiction) yang diajukan dengan pertimbangan, Pengadilan London tidak berwenang untuk memeriksa gugatan ini. Kewenangan ada di LCIA.
Pada 16 Februari 2021, Helice dan lessor lain yang berada dalam satu manajemen, yaitu Atterissage, mengajukan gugatan arbitrase di LCIA dan memperbaharui permohonan sita jaminan yang pernah diajukan sebelumnya. Sebulan kemudian, Garuda memberikan tanggapan terhadap gugatan dari Helice dan Atterissage tersebut.
Kerugian yang dialami Garuda Indonesia terus membengkak pada semester I 2021. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, rugi bersih maskapai nasional ini mencapai US$ 898,65 juta atau setara Rp 12,82 triliun (Kurs Rp 14.275/ US$) dari sebelumnya US$ 712,72 juta atau setara Rp 10,17 triliun pada enam bulan pertama tahun lalu.
Bengkaknya kerugian Garuda Indonesia pada semester I-2021 ini sejalan dengan total pendapatan usaha yang sebesar US$ 696.8 juta, atau menurun 24,04% dari periode sama tahun lalu US$ 917,28 juta. Omzet Garuda Indonesia mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal yang totalnya US$ 556,53 juta atau anjlok 25,82% dari US$ 750,25 juta.