Kisah Evergrande, Raksasa Properti Tiongkok yang Terjerat Utang Jumbo
Krisis utang Evergrande membuat resah pasar saham dan keuangan global. Perusahaan properti raksasa asal Tiongkok ini diperkirakan akan gagal bayar bunga dan utang-utangnya.
Tumpukan utangnya lebih dari US$ 300 miliar. Dengan kurs sekitar Rp 14.246 per dolar AS maka nilainya mencapai Rp 2.437 triliun. Angkanya tidak jauh dari produk domestik bruto (PDB) Filipina 2020 yang sekitar US$ 361,5 miliar, menurut data Bank Dunia.
Pemerintah Negeri Panda akan mengambil tindakan untuk mencegah krisis semakin membesar. Hasil analisis Citigroup Inc menuliskan, beberapa bank mungkin akan menjadi korban. Risiko kredit tertinggi ada pada China Minsheng Banking Corp, Ping An Bank Co, dan China Everright Bank Co.
“Pembuat kebijakan akan mencegah risiko sistematis dan mengulur waktu untuk menyelesaikan risiko utang dan mendorong pelonggaran kredit secara keseluruhan,” tulis analis Citibank Judy Zhang, dikutip dari Bloomberg, Selasa (21/9).
Para investor khawatir kegagalan pembayaran utang jumbo ini akan berdampak ke sektor keuangan. Analis dari Jefferies Financial Group Inc, Shujin Chen, berpendapat peluang risiko sistemik sangat kecil. Ia menyarankan investor untuk membeli saham perbankan yang turun, seperti China Construction Bank Corp dan Bank of Ningbo Co.
Melansir dari Reuters, saham Evergrande turun lebih 10% pada penutupan perdagangan di pasar saham Hong Kong kemarin. Harganya telah anjlok 86% sejak awal tahun. Indeks saham properti Hang Seng jatuh 6,6% ke level terendah sejak 2016.
Pekan ini, Evergrande dijadwalkan untuk membayar bunga obligasi sebesar US$ 83,5 juta atau lebih Rp 1,2 triliun. Ada pula pembayaran bunga surat utang senilai US$ 47,5 juta. Kedua obligasi akan gagal bayar apabila Evergrande tidak melunasinya dalam waktu 30 hari.
Ratusan pemilik modal sebelumnya mendatangi kantor pusat Evergrande di Shenzhen, Guangzhou. Mereka menuntut perusahaan mengembalikan dana investor sebesar 40 miliar yuan atau sekitar Rp 88,1 triliun.
Perusahaan telah menawarkan opsi pembayaran utang untuk meredam emosi para investor. Ada tiga opsi yang perusahaan tawarkan, termasuk pembayaran berupa aset properti.
Manajer Aset Evergrande Du Liang mengatakan, investor bisa mendapatkan diskon 28% hingga 52% dari harga properti milik perusahaan. Bentuknya adalah apartemen, toko, dan Tempat parkir.
Opsi tersebut dinilai bukan yang terbaik tapi tidak terburuk. “Bagi investor, apartemen tidak selikuid uang tunai,” kata Direktur Chanson&Co, Shen Meng, dikutip Global Times.
Profil Evergrande
Perusahaan berdiri pada 1996 di Guangzhou, Tiongkok. Awalnya, Evergrande hanya perusahaan properti kecil. Skala bisnisnya membesar seiring booming sektor perumahan negara tersebut.
Evergrande lalu mengukuhkan diri menjadi pengembang terbesar kedua di Tiongkok, berdasarkan jumlah penjualan. Perusahaan lalu melantai di bursa saham Hong Kong pada 2009.
Melansir dari situs resminya, Evergrande telah mengerjakan 1.300 proyek di lebih 280 kota di Negeri Manufaktur. Selain properti, perusahaan juga bergerak di sektor manufaktur, kendaraan elektrik, asuransi, layanan streaming, air minum dan makanan, kesehatan, taman bermain, dan klub sepak bola.
Total karyawannya mencapai 200 ribu orang. Sedangkan asetnya mencapai 2,3 triliun yuan atau lebih Rp 5.064 triliun.
Mengapa Evergrande Gagal Bayar Utang?
Mengutip dari Channel News Asia, Evergrande berbisnis dengan leverage yang agresif sejak awal. Perusahaan disebut sebagai pengembang properti paling berutang di dunia.
Pendirinya, Hui Kan Yan, bahkan disebut sebagai ‘raja utang Tiongkok’. Ia sempat dinobatkan sebagai orang terkaya di Asia pada empat tahun lalu. Kekayaan bersihnya mencapai US$ 45,3 miliar. Sekarang, setelah perusahaannya dalam masalah, Forbes menyebut kekayaan Hui turun menjadi US$ 10,6 miliar.
Strategi bisnis berdasarkan utang yang besar ini tentu saja mudah goyah. Apalagi Beijing mengumumkan kebijakan Tiga Garis Merah yang mulai digaungkan sejak Agustus 2020.
Kebijakan ini adalah triometrik utang yang harus dipenuhi pengembang jika ingin menambah pinjaman lebih banyak. Termasuk di dalamnya adalah batas atas kewajiban atas aset, batas atas utang bersih terhadap ekuitas, dan rasio kas terhadap pinjaman jangka pendek.
Apabila lolos dalam tiga batas tersebut, pengembang dapat menaikkan utangnya maksimal 15%. Evergrande tentu saja tidak dapat memenuhinya. Kondisi perusahaan juga diperparah dengan menurunnya permintaan properti di Tiongkok, yang menekan pula harga perumahan di sana.
Penyumbang bahan: Dhia Al Fajr (magang)