Manajemen PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) menyampaikan pihaknya sudah memiliki solusi untuk menangani proyek pabrik blast furnace yang mangkrak dan terindikasi terdapat korupsi. Proyek ini ditargetkan bisa mulai beroperasi pada triwulan III 2022.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mencurigai adanya indikasi praktik korupsi di perusahaan pelat merah Krakatau Steel seiring dengan jumlah utang perusahaan yang menumpuk. Salah satu proyek yang membuat utang produsen baja itu membengkak adalah blast furnace bernilai US$ 850 juta atau sekitar Rp 13,17 triliun.
“Saat ini kami sudah memiliki dua calon mitra strategis, bahkan satu calon sudah menandatangani memorandum of agreement (MOA) dengan Krakatau Steel," kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam rilis resmi, Selasa (28/9).
Sementara itu, satu mitra lain sudah menyampaikan surat minat untuk bekerja sama dalam hal blast furnace. Silmy menafsirkan, MOA dan surat minat tersebut membuat proyek blast furnace sudah punya solusi.
Silmy mengatakan, pengoperasian pabrik blast furnace nantinya menggunakan teknologi yang memaksimalkan bahan baku dalam negeri yaitu pasir besi. Penggunaan pasir besi dinilai bisa menghemat biaya produksi dan menurunkan impor bahan baku dari luar negeri yaitu iron ore.
Terkait dengan adanya indikasi penyimpangan atau korupsi di masa lalu terkait proyek pabrik blast furnace, Silmy mengatakan hal itu juga menjadi perhatian manajemen.
"Proyek tersebut diinisiasi pada 2008 dan memasuki masa konstruksi pada 2012. Jauh sebelum dirinya bergabung di Krakatau Steel pada akhir tahun 2018," katanya.
Silmy mengatakan, semua upaya yang dilakukan didukung oleh manajemen yang bebas korupsi. Krakatau Steel sudah menerapkan ISO 37001:2016 sejak Agustus 2020 sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan KKN karena merupakan standar internasional.
Sebelumnya, Erick Thohir mencurigai adanya indikasi korupsi di perusahaan pelat merah Krakatau Steel. Praktik tersebut dianggap menyebabkan perusahaan menanggung utang hingga US$ 2 miliar atau setara Rp 31 triliun (berdasarkan asumsi kurs yang dipakai Kementerian BUMN: Rp 15.500)
Erick mengatakan, salah satu proyek yang membuat utang produsen baja itu membengkak adalah blast furnace bernilai US$ 850 juta atau sekitar Rp 13,17 triliun.
"(Proyek) yang hari ini mangkrak. Ini kan hal-hal yang tidak bagus. Pasti ada indikasi korupsi, kami akan kejar siapapun yang merugikan," katanya dalam webinar virtual, Selasa (28/9).
Erick mengatakan, ada kesalahan dalam penegakan hukum terhadap proses bisnis, dan hal itu harus diperbaiki. "Kami tidak mau karena penugasan, ini banyak proyek mangkrak dan terjadi korupsi karena tanpa proses bisnis yang baik," katanya.