Bidik IPO Terbesar Rp 24,9 T, Mitratel Tawarkan Saham Rp 775 - Rp 975

ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Pekerja melakukan perawatan jaringan di salah satu menara Base Transceiver Station (BTS) di kawasan Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur, Kamis (11/7/2019).
Penulis: Lavinda
26/10/2021, 10.26 WIB

PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) akhirnya memulai langkahnya menuju lantai bursa. Anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk itu menawarkan saham perdana pada kisaran harga Rp 775 - Rp 975 per saham.

Berdasarkan prospektus singkat, perusahaan penyedia jasa menara telekomunikasi ini menargetkan raihan dana hasil penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) maksimal Rp 24,9 triliun, lebih tinggi dari target dana IPO Bukalapak yang disebut menjadi yang terbesar di Indonesia, Rp 21,9 triliun. 

Mitratel menawarkan maksimal 25,54 miliar saham perdana atau 29,85% dari modal perusahaan setelah penawaran umum perdana saham. Nilai nominal berada di level Rp 228 per saham.

"Bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi efek antara lain PT BRI Danareksa Sekuritas, dan PT Mandiri Sekuritas," demikian tertulis di prospektur yang terbit Selasa (26/10).

Masa penawaran awal akan berlangsung pada 26 Oktober - 4 November 2021, sementara tanggal efektif pernyataan pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diperkirakan pada 12 November.

Sementara itu, masa penawaran umum dijadwalkan berlangsung pada 16 - 18 November, dan masa penjatahan pada 18 November. Perseroan menjadwalkan distribusi saham secara elektronik terjadi pada 19 November, sedangkan pencatatan efek di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 22 November.

Sebanyak 90% dana hasil IPO akan digunakan untuk belanja modal perusahaan. Secara rinci dijelaskan, sebanyak 44% untuk belanja modal organik, yakni mengembangkan dan memperluas hubungan dengan pelanggan melalui penambahan penyewa kolokasi. Ini mencakup berbagai pengeluaran terkait penguatan dan penambahan menara yang dimiliki perusahaan saat ini.

Selain itu, membangun menara baru, dan menambah site baru, termasuk biaya sewa lahan baru guna dibangun untuk pesanan build to suit berbagai operator telekomunikasi besar di Indonesia.

Belanja modal organik juga digunakan untuk ekspansi teknologi dan layanan yang dapat bersinergi dengan bisnis penyewaan menara perusahaan, seperti layanan digital dan fiber.

Sementara itu, sebanyak 56% akan digunakan untuk belanja modal anorganik, yakni akuisisi portofolio menara di Indonesia, terutama menara yang dimiliki oleh operator telekomunikasi di Indonesia. Selain itu, akuisisi produk, teknologi, dan layanan baru yang dapat bersinergi dengan bisnis penyewaan menara perusahaan di Indonesia.

Sisanya, 10% dari dana IPO akan digunakan untuk kebutuhan modal kerja dan kebutuhan perusahaan lainnya. Hal ini antara lain, untuk  peningkatan sistem teknologi informasi perusahaan dan penerapan program pengembangan menara telekomunikasi.

Saat ini, Telkom menjadi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 99,99% saham Mitratel, dan PT Metra Digital Investama 0,01%. Setelah IPO, saham Telkom akan menyusut menjadi 70,15%, dan Metra Digital Investama tak lebih dari 0,01%. Sisanya dimiliki publik 29,85%.

Gelembungkan Aset sebelum Melantai di Bursa Saham

Sebelumnya, Mitratel menambah aset berupa 10.050 unit menara dari anak usaha Telkom lain, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel).

Pengalihan pertama dilakukan pada 14 Oktober 2020 sebanyak 6.050 unit. Kemudian, pada 31 Agustus 2021 sebanyak 4.000 unit. Dengan begitu, aset perusahaan otomatis akan bertambah menjelang IPO.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menilai IPO Mitratel berpotensi menuai kesuksesan karena memiliki fundamental yang kuat. Hal ini terlihat dari aset dan layanan yang tidak dimiliki oleh perusahaan sejenis. Saat ini, Mitratel memiliki 28 ribu menara telekomunikasi.

Menurut Arya, Mitratel juga memiliki strategi pertumbuhan jangka panjang yang mumpuni. Saat ini, perusahaan masuk ke infrastruktur jaringan 5G yang sedang berkembang. Rencananya Mitratel juga akan mengembangkan bisnisnya di Asia Tenggara, bahkan ke Asia Pasifik.

Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, valuasi tower ini bisa naik puluhan kali lipat. Beberapa contoh kasus terdekat ialah ketika Singapore Telecommunications Limited (Singtel) melego perusahaan menara miliknya di Negeri Kangguru, Australia Tower Network (ATN).

Perusahaan memiliki valuasi mencapai 2,3 miliar dolar Australia, atau mewakili kelipatan transaksi EV/EBITDA pro-forma 2021 sebesar 38x.

EV/EBITDA merupakan rasio fundamental saham berupa nilai perusahaan atau enterprise value dibagi dengan pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Nilai yang didapat bisa digunakan untuk menentukan bahwa harga saham di atas atau di bawah nilai wajar.

Di Amerika Serikat (AS), valuasi perusahaan tower bisa naik 20 kali lipat. Secara global rata-rata multipel valuasi perusahaan tower adalah 25-35 kali. Tingginya multipel valuasi ini disebabkan dalam bisnis menara telekomunikasi berlaku skema sale and leaseback. Artinya, menara dibeli, kemudian selain digunakan sendiri juga disewakan kembali, sehingga ada potensi kenaikan.

Di Indonesia, bisnis valuasi menara telekomunikasi memang relatif rendah dibanding negara lain, yakni 16 kali. Pasalnya, menara digunakan secara eksklusif untuk internal.

Namun, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuka jalan dengan ketentuan yang memungkinkan operator telekomunikasi berbagi infrastruktur dalam penggunaan menara sehingga meningkatkan rasio kolokasi.

Menurut analisis D-Insights, hal ini membuat perusahaan menara berpotensi meraih pendapatan tambahan dari para operator telekomunikasi tanpa mengeluarkan investasi lebih untuk biaya kolokasi. Hal ini akan membuat valuasi menara telekomunikasi bisa naik lebih tinggi kalau pemerintah daerah mulai membatasi pembangunan menara.

Berdasarkan riset Citi pada September 2021 lalu disebutkan, pengalihan sebanyak 4.000 menara telekomunikasi milik Telkomsel ke Mitratel tercatat memiliki nilai aset Rp 6,2 triliun. Ini membuat jumlah menara Mitratel bertambah menjadi 28.000 menara atau setara 30% pangsa pasar, tertinggi di Indonesia.

Valuasi per menara diterjemahkan menjadi Rp 1,55 miliar, lebih rendah dibanding valuasi transaksi sebelumnya, yakni Rp 1,7 miliar per menara.

"Kami melihat bahwa tarif sewa bisa menurun. Ini juga berarti valuasi EV/EBITDA akan lebih tinggi," demikian tertulis dalam hasil riset Citi.

Berdasarkan pernyataan terbaru dari perusahaan telekomunikasi dan perusahaan penyedia sewa menara, serta menganalisis transaksi menara baru-baru ini di Indonesia, Citi memperkirakan tarif sewa menara sekitar Rp 11 miliar.

"Dengan asumsi tersebut, Citi memperkirakan valuasi menara yang dibayarkan menjadi 13x EV/EBITDA," katanya.