Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuka peluang untuk melepas status sebagai pengendali PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Swastanisasi ini dilakukan karena Garuda butuh pendanaan tambahan.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo meminta dukungan anggota DPR Komisi VI yang bermitra dengan Kementerian BUMN, agar pemerintah bisa melepas status pemegang saham mayoritas Garuda jika diperlukan di masa mendatang.
"Kami mohon dukungan pendapat, bila ada pemegang saham baru, apakah kami diperbolehkan untuk melakukan dilusi kepemilikan pemerintah?" kata Tiko, sapaan akrab Kartika, dalam rapat dengar pendapat, Selasa (9/11).
Saat ini pemerintah merupakan pemegang saham mayoritas Garuda dengan persentase 60,54%.
Saham Garuda juga dimiliki pengusaha Chairul Tanjung melalui PT Trans Airways sebesar 28,27%. Sementara sisanya, 11,19% dimiliki pemegang saham publik.
"Bahkan mungkin pemerintah menjadi tidak mayoritas lagi, jadi kami mohon dukungan dari bapak, ibu, sekalian," kata Tiko di hadapan anggota DPR Komisi VI.
Tiko menjelaskan, dalam rangka restrukturisasi yang masif, Garuda diperkirakan membutuhkan pendanaan dari pemerintah hingga US$ 527 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun.
Dana tersebut menggunakan investasi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Dana PEN tersebut terdiri dari dua sumber. Pertama, pendanaan interim US$ 90 juta atau Rp 1,3 triliun dalam bentuk pinjaman senior terjamin (senior secured loan) kepada Kementerian Keuangan.
Jaminannya, 120% dari nilai pinjaman. Saat ini, Garuda masih memproses pendanaan ini.
Sumber pendanaan kedua yaitu tambahan hingga US$ 437 juta atau Rp 6,5 triliun sebagai kebutuhan dana setelah proses restrukturisasi diselesaikan.
Selain itu, bila pendanaan yang tersedia untuk Garuda masih belum cukup, maka Garuda akan melakukan proses penggalangan dana dari pihak ketiga.
"Ini yang memungkinkan terjadinya dilusi atas kepemilikan pemerintah," kata Mantan Dirut Bank Mandiri tersebut.
Tiko menambahkan, nilai pendanaan di atas masih dapat berubah. Hal tersebut bergantung kepada negosiasi yang dilakukan dengan para kreditur.
Pasalnya, utang Garuda menggunung sehingga ekuitas maskapai nasional itu negatif US$ 2,8 miliar atau sekitar Rp 40 triliun per september 2021.
"Neraca Garuda negatif ekuitas US$ 2,8 miliar, ini rekor. Dulu rekornya dipegang Asuransi Jiwasraya, sekarang disalip Garuda," kata Tiko.
Ekuitas negatif disebabkan aset yang lebih kecil dari liabilitas.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, aset Garuda US$ 6,92 miliar atau sekitar Rp 99 triliun. Sementara itu, liabilitas Garuda mencapai US$ 9,75 miliar atau sekitar Rp 139,4 triliun.
Liabilitas Garuda mayoritas berasal dari utang kepada lessor, nilainya mencapai US$ 6,35 miliar.
Sisanya ada utang kepada bank sekitar US$ 967 juta. Utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA totalnya US$ 630 juta.
Kondisi keuangan tersebut, secara teknikal sudah dianggap bangkrut.
"Sementara dalam kondisi seperti ini, kalau istilah perbankan sudah technically bankrupt (bangkrut secara teknikal), tapi legally (secara legal) belum (bangkrut)," kata Tiko yang mantan Direktur Utama Bank Mandiri.Presiden Direktur PT Indonesia Infrastructure Finance tersebut.