PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatatkan rugi bersih mencapai US$ 1,66 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun (kurs Rp 14.200/US$) sampai kuartal III 2021. Nilai itu membengkak dari kondisi periode yang sama tahun sebelumnya dengan catatan rugi bersih US$ 1,07 miliar atau sekitar Rp 15,1 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan, maskapai penerbangan milik negara itu membukukan pendapatan US$ 939,02 juta dalam sembilan bulan pertama tahun ini, atau menyusut 16,9% dari raihan omzet periode yang sama tahun lalu US$ 1,13 miliar.
Secara rinci, pendapatan berjadwal memberi kontribusi paling besar, yakni US$ 732,85 juta, meski angkanya menyusut 20,1% dari tahun lalu sebesar US$ 917,28 juta. Pendapatan tidak berjadwal tercatat naik 27,6% menjadi US$ 59,87 juta dari sebelumnya US$ 46,92 juta. Sementara itu, pendapatan lainnya tercatat turun 16% menjadi US$ 146,29 juta dari semula US$ 174,55 juta.
Dari pos pengeluaran, aktivitas operasional yang minim menyebabkan beban usaha menyusut 11,6% menjadi US$ 1,98 miliar dari US$ 2,24 miliar. Secara rinci, pengeluaran terbesar berasal dari beban operasional penerbangan mencapai US$ 1,11 miliar, beban pemeliharaan dan perbaikan US$ 446,07 juta, serta beban umum dan administrasi US$ 135,6 juta.
Selain itu, terdapat pula beban bandara US$ 120,68 juta, beban tiket, penjualan, dan promosi tercatat US$ 66,71 juta, bebal pelayanan penumpang US$ 64,21 juta, beban operasional hotel US$ 16,42 juta, beban operasional transportasi US$ 11 juta, dan beban operasional jaringan US$ 6,03 juta.
Kerugian emiten berkode saham GIAA ini berhasil dipangkas oleh keuntungan selisih kurs bersih yang tercatat US$ 25,63 juta, meski nilainya menyusut dari perolehan keuntungan sebelumnya US$ 83,32 juta.
Namun, perusahaan pelat merah ini mencatatkan beban keuangan sebesar US$ 434,5 juta, naik dari posisi sebelumnya US$ 313,42 juta. Alhasil, perusahaan mencatatkan rugi usaha US$ 1,34 miliar dari US$ 1,05 miliar.
Dari sisi laporan neraca, total liabilitas jangka pendek GIAA tercatat membengkak 23% menjadi US$ 5,28 miliar dari US$ 4,29 miliar. Kontribusi terbesar berasal dari liabilitas sewa yang mencapai US$ 1,94 miliar atau naik 29% dari posisi sebelumnya US$ 1,5 miliar.
Selain itu, terdapat pula pinjaman jangka pendek sebesar US$ 948,57 juta dari sebelumnya US$ 805,27 juta. Kontribusi terbesar ketiga yakni, utang obligasi sebesar US$ 494,39 juta dari semula US$ 492,07 miliar.
Sementara itu, liabilitas jangka panjang tercatat menyusut US$ 7,73 miliar dari posisi sebelumnya US$ 8,43 miliar. Kontribusi terbesar berasal dari liabilitas sewa US$ 3,95 miliar dan liabilitas estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat US$ 2,7 miliar.
Hasilnya, total liabilitas tercatat mencapai US$ 13,02 miliar dari US$ 12,73 miliar. Di sisi lain, ekuitas tercatat minus US$ 3,6 miliar, dari semula minus US$ 1,94 miliar. Dengan demikian, total liabilitas dan ekuitas perseroan tercatat US$ 9,42 miliar dari posisi sebelumnya US$ 10,78 miliar.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, perusahaan akan terus berupaya memperbaiki kinerja keuangan di masa mendatang. Salah satunya, melalui pengajuan restrukturisasi kepada para perusahaan penyewaan pesawat (lessor) dan pemberi pinjaman dana.
"Kami sedang melakukan restrukturisasi. Nanti ya, masih panjang," ujarnya kepada Katadata, Jumat (26/11).
Perkuat Bisnis Kargo dan Kerja Sama Internasional
Sebagai upaya memperbaiki kinerja keuangan, Garuda berupaya menggenjot kinerja bisnis kargo dan meningkatkan aktivitas penerbangan internasional di wilayah yang telah dibuka pasca-pandemi Covid-19.
Salah satunya, perusahaan bekerja sama dengan jasa penyedia layanan logistik darat Wallenborn Transports S.A untuk mengoptimalkan jaringan pengiriman kargo di wilayah Eropa.
Tak hanya itu, Garuda juga menyediakan akses angkutan produk ekspor ke Uni Emirat Arab dan Cina.
Selain itu, Garuda Indonesia memperkuat hubungan kerja sama dengan Singapore Airlines (SIA) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) terkait potensi eksplorasi kemitraan komersial dan menawarkan penumpang berbagai nilai tambah melalui berbagai opsi tambahan serta pengalaman perjalanan yang semakin seamless.
Hal ini bertepatan dengan momentum implementasi kebijakan peraturan bebas karantina Jalur Penerbangan Vaksinasi atau Vaccinated Travel Lane (VTL) antara Indonesia dan Singapura yang akan diberlakukan mulai 29 November 2021 mendatang.