Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berkomitmen mengonsolidasikan perusahaan pelat merah. Hingga saat ini, Erick sudah menutup 74 anak dan cucu BUMN.
Efisiensi di perusahaan-perusahaan milik negara tersebut untuk menciptakan holding BUMN yang kuat dalam menghadapi persaingan pasar. Pasalnya, terlalu banyak perusahaan yang tidak efisien dan tidak efektif sehingga tidak layak untuk dimiliki.
"Holding-nya sehat, tapi ada anak-cucu yang menyedot keuntungan dari holding-nya. Ini yang harus kita bongkar, kita stop dan kurangi," kata Erick dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (1/12).
Erick mengungkapkan dari 74 anak dan cucu BUMN yang ditutup, sebanyak 26 perusahaan dari PT Pertamina, 24 dari PT Perkebunan Nusantara, dan 13 lainnya dari PT Telkom Indonesia. Dia ingin ketidakefisienan dalam perusahaan pelat merah tidak boleh terjadi lagi. Apalagi sebagai lokomotif keuangan ekonomi Indonesia, BUMN harus kuat dan sehat.
Berbagai kemungkinan efisiensi akan terus dilakukan, termasuk dengan menggabungkan anak-anak perusahaan atau refocusing proses bisnis dari BUMN. Tidak hanya di anak dan cucu, BUMN sebagai induk juga mungkin dikonsolidasikan.
Ia mencontohkan, Perinus dan Perindo sebagai dua perusahaan perikanan di BUMN digabungkan. "Buat apa punya dua perusahaan? Lebih baik satu perusahaan saja," kata Erick.
Menurutnya, perbaikan model bisnis harus terus dilakukan sebagai bentuk adaptasi di era disrupsi saat ini. Adanya disrupsi di bidang teknologi atau kesehatan berefek pada bisnis model BUMN yang harus berubah.
Berkat transformasi, dividen BUMN mengalami kenaikan. Dalam data Laporan Keuangan Konsolidasi BUMN, hingga triwulan ketiga 2021, dividen mencapai Rp 61 triliun, meningkat empat kali dibandingkan sepanjang 2020 senilai Rp13 triliun.
Menurut Erick, terdapat beberapa BUMN yang menjadi penyumbang dividen terbesar. BUMN yang bergerak di bidang industri keuangan, seperti perbankan dan asuransi, industri telekomunikasi, dan energi & pertambangan.
Meskipun mendapat dividen yang cukup besar, Kementerian BUMN tetap menjalankan berbagai transformasi sebagai bentuk kontribusi maksimal. Hal ini sebagai ladang pemasukan bagi negara dan penggerak perekonomian Indonesia. "Jangan gara-gara sudah untung Rp 61 triliun, sudah tenang. Tidak," kata Erick.
Pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia sekitar Maret 2020. Hal tersebut memang membuat laba bersih BUMN anjlok. Sepanjang 2020, laba bersih BUMN hanya Rp 13 triliun, turun 92,12 % dibandingkan laba bersih pada 2019 senilai Rp 165 triliun berdasarkan laporan tahunan 2019 Kementerian BUMN.
Laba bersih BUMN pada 2019 tercatat turun. Berdasarkan laporan tahunan 2018 laba bersihnya Rp 189 triliun. Artinya, turun 12,7 % secara tahunan. Laba bersih pada 2018 memang menjadi yang paling tinggi sejak 2014.