Geliat Pasar Batu Bara, Laba Adaro Meroket 284% Jadi Rp 6 Triliun

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk (Adaro) Garibaldi Thohir (kanan), Komisaris Independen Mohammad Effendi (kiri), Wakil Presiden Direktur C Ariano Rachmat (kedua kanan) dan Direktur Julius Aslan (kedua kiri) berbincang seusai melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Adaro Energy Tbk di Jakarta, Senin (26/4/2021).
Penulis: Lavinda
2/12/2021, 05.48 WIB

PT Adaro Energy Tbk membukukan pertumbuhan laba bersih 284,8% sampai kuartal III 2021 menjadi US$ 420,9 juta atau setara Rp 6,02 triliun. Peningkatan kinerja tersebut ditopang kondisi pasar batu bara yang terus membaik.

Presiden Direktur dan Chief Executive Officer (CEO) Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, kondisi pasar batu bara yang kondusif semakin meningkatkan profitabilitas perusahaan pada kuartal III 2021 ini. Kontribusi perusahaan terhadap negara melalui pembayaran royalti dan pajak juga meningkat.

Selain itu, menurut dia, perusahaan fokus pada keunggulan operasional dan efisiensi di sepanjang rantai pasok batu bara yang terintegrasi.

"Walaupun dihadapkan dengan kondisi cuaca yang kurang baik, kami berhasil menyediakan pasokan yang andal bagi para pelanggan, hal yang membuktikan kekuatan model bisnis yang diterapkan perusahaan," ujar pria yang akrab disapa Boy Thohir ini dalam keterangan tertulis, Rabu (1/12).

Berdasarkan laporan keuangan, emiten pertambangan berkode saham ADRO ini mencatatkan pendapatan usaha US$ 2,56 miliar pada sembilan bulan pertama tahun ini, atau naik 31% dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya, US$ 1,95 miliar. Peningkatan omzet terutama terjadi karena kenaikan harga jual rata-rata sebesar 42%, di tengah kenaikan harga batu bara dunia.

Sampai September 2021, perusahaan memproduksi batu bara hampir 40 juta ton, atau menyusut 4% secara tahunan. Total penjualan juga tercatat merosot 5% menjadi 38,86 juta ton pada periode yang sama.

Di sisi lain, beban pokok pendapatan US$ 1,59 miliar atau naik tipis 7% dari semula US$ 1,49 miliar. Hal ini dipicu kenaikan nisbah kupas dan biaya penambangan di tengah lonjakan harga bahan bakar dan pembayaran royalti yang disebabkan oleh kenaikan harga jual rata-rata.

Beban usaha naik 1% menjadi US$ 130,5 juta dari sebelumnya US$ 128,9 juta, dipicu kenaikan komisi penjualan. Royalti dan beban pajak penghasilan yang dibayarkan kepada pemerintah tercatat mencapai US$ 510 juta, karena kenaikan pendapatan dari penjualan batu bara yang dipicu kenaikan harga jual rata-rata.

Penghasilan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) tercatat naik hingga 70% dari US$ 676 juta menjadi US$ 1,14 miliar berkat kenaikan harga jual rata-rata. Adapun, margin EBITDA berada di level 45%, karena upaya peningkatan efisiensi operasional dan pengendalian biaya.

Dalam hal ini, Adaro juga merevisi panduan EBITDA operasional 2021 menjadi US$ 1,75 miliar – AS$ 1,90 miliar karena fundamental pasar batu bara meningkatkan profitabilitas perusahaan.

Likuiditas Adaro Memadai

Sampai akhir kuartal III 2021, tingkat likuiditas Adaro memadai, yakni US$ 2,01 miliar. Jumlah ini terdiri dari, kas sebesar US$ 1,51 miliar, investasi US$ 169 juta, dan komitmen fasilitas pinjaman yang belum dipakai US$ 333 juta.

Total aset tercatat US$ 7,11 miliar atau naik 10% dari periode yang sama tahun lalu. Aset lancar US$ 2,32 miliar, sementara aset non-lancar naik US$ 4,79 miliar. Pada akhir 2021, saldo kas tercatat US$ 1,51 miliar.

Sampai akhir September 2021, aset tetap perusahaan menyusut 13% menjadi US$ 1,41 miliar. Tak hanya itu, properti pertambangan juga menurun 9% menjadi US$ 1,25 miliar.

Total liabilitas tercatat naik 8% menjadi US$ 2,79 miliar dari semula US$ 2,58 miliar. Liabilitas jangka pendek menurun 10% menjadi US$ 1,03 miliar, terutama karena pembayaran pinjaman bank dan penurunan utang royalto. Di sisi lain, liabilitas jangka panjang naik 22% menjadi US$ 1,76 miliar.

Di sisi lain, tingkat ekuitas Adaro tercatat US$ 4,32 miliar atau 11% lebih tinggi dari posisi tahun lalu US$ 3,88 miliar.