IATA Tambah 2 Kontraktor Batu Bara Baru Milik Grup MNC

Arief Kamaludin | KATADATA
Gedung MNC
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Lavinda
13/12/2021, 14.00 WIB

PT Bhakti Coal Resource (BRC), perusahaan yang baru saja diakuisisi oleh PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA), menunjuk dua kontraktor tambang dari Grup MNC untuk meningkatkan kapasitas produksi batu bara. 

Kontraktor yang dimaksud adalah PT Darma Henwa Tbk. dan PT MNC Infrastruktur Utama. Sebelumnya, perseroan juga telah menunjuk tiga kontraktor lain, yakni PT ara Permata Mining, PT Cipta Bersama Sukses, dan PT Universal Support. Dengan demikian, akan ada lima kontraktor yang akan bekerja pada tambang batu-bara BRC. 

"Penambahan penunjukkan (kontraktor) tersebut untuk memenuhi target produksi dari 2,5 juta MT pada 2021 menjadi 8 juta MT pada 2022," tulis manajemen IATA dalam keterbukaan informasi di laman resmi Bursa Efek Indonesia, Senin (13/12). 

Peningkatan kapasitas produksi itu akan dilakukan di empat dari sembilan lokasi izin usaha pertambangan (IUP) BRC, yakni PT Putra Muba Coal (PMC), PT Bhumi Sriwijaya Coal (BSPC), PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPEI), dan  PT Arthaco Prima Energi (APE). 

Hingga akhir 2021, tambang BRC yang telah beroperasi hanya dua, yakni BSPC  dan PMC dengan total sumber daya pada keuda tambang itu mencapai 207,6 juta MT dengan perkiraan total cadangan 138,1 juta MT. 

Pada 2022, tambang IBPE dan APE baru mulai produksi. Sementara itu, PT Energi Inti Bara Pratama, PT Sriwijaya Energi Persada, PT Titan Prawira Sriwijaya, PT Primaraya Energi, dan PT Putra Mandiri Coal  akan beroperasi pada 2023-2024. 

Ketujuh IUP yang mulai mulai beroperasi pada 2022 itu diproyeksikan memiliki total sumber daya lebih dari 1,4 miliar MT. Adapun, BCR diproyeksikan memiliki pendapatan hingga US$ 74,8 juta dengan pendapatan sebelum bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi senilai US$ 33 juta. 

Seperti diketahui, IATA telah melakukan perjanjian jual eli terhadap 999,33% saham BCR senilai US$ 140 juta. Nilai itu lebih rendah dari valuasi  tambang BRC yang telah beroperasi, yakni BSPC dan PMC, yang mencapai US$ 181,9 juta. 

Untuk menjaga prosi pemilikan IATA di masyarakat, IATA akan menerbitkan saham baru melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu atau right issue. Proses ini ditargetkan rampung pada paruh pertama 2021. 

Berdasarkan laporan keuangan IATA, ekuitas perseroan selama 9 bulan 2021 tercatat susut 20,64% menjadi US$ 11 juta dair posisi akhir 2020 senilai US$ 14 juta. Namun demikian, liabilitas IATA  tampak naik tipis 0,54% menjadi US$ 39,1 juta. 

Pertumbuhan itu didorong oleh utang bank jangka pendek yang merupakan bagian lancar atas utang jangka panjang. Pinjaman dalam kolom itu naik 68,42% menadi US$ 17 juta dari posisi akhir 2020 senilai US$ 10 juta. 

Dari sisi bottomline, pendapatan IATA tercatat naik 15,01% secara tahunan pada Januari-September 2021 menjadi US$ 7,2 juta dari US$ 6,2 juta. Sementara itu, laa kotor tumbuh 100,27% menadi US$ 1,4 juta. 

Namun demikian, meningkatnya berbagai beban perseroan membuat kerugian perseroan sebelum pajak melebar 31,31% dari realisasi Januari-September 2020 senilai US$ 2,4 juta menjadi US$ 3,2 juta. Alhasil,rugi bersih perseroan tumbuh 84,75%  menjadi US$ 3 juta. 

Berdasarkan data Stockbit, harga saham IATA stagnan pada paruh pertama 2021 dan melonjak sejak awal kuartal IV-2021.  Per 16 Februari 2017, harga saham IATA stagnan dilevel Rp 50 per saham hingga 15 Oktober 2021. Selang hari, harga saham IATA melonjak 40 poin menjadi Rp 90 per saham pada 19 Oktober 2021. 

Per 29 Oktober, harga IATA menyentuh titik terendahnya pada kuartal IV-2021 di level Rp 57 per saham. Secara tahun berjalan, harga IATA telah naik 27 poin atau menguat 54% menjadi Rp 77 per saham. 

Walaupun harga saham melonjak, rasio price to earning (PE) IATA konsisten di zona merah sepanjang 2021. Kini, rasio PE IATA ada di posisi minus 6,63 kali. Terakhir kalinya rasio PE IATA ada di zona hijau adalah pada kuartal IV-2014 di kisaran 31 kali.   

Reporter: Andi M. Arief