Dengan perkembangan teknologi yang makin cepat dari waktu ke waktu, bisnis teknologi terutama data juga semakin menjanjikan. Salah satu pengusaha yang berhasil membidik peluang ini adalah Otto Sugiri yang akrab disapa Toto Sugiri.
Kerja keras Otto di bidang teknologi berhasil mengantarkannya ke dalam daftar 50 Orang Terkaya di Indonesia versi Forbes. Namanya baru muncul di tahun 2021 dan langsung menyabet peringkat ke-19.
Melansir laman Forbes, kekayaan Otto per 13 Desember sebesar US$ 2,5 miliar atau setara Rp 35,5 triliun (kurs Rp 14.200). Berkat keberhasilan Otto menumpuk pundi-pundi dari bidang teknologi, Chief Operating Officer (COO) Dattabot Tom Malik menjuluki Otto sebagai “Bill Gates”-nya Indonesia.
Pemain Lama Industri Teknologi
Otto dikenal banyak orang sebagai presiden direktur perusahaan Data Center Indonesia (DCI) yang ia dirikan bersama temannya pada 2011. DCI merupakan perusahaan data pertama dan terbesar di Indonesia. Juga perusahaan data tingkat empat yang pertama di Asia Tenggara. Sesuai namanya, perusahaan ini menawarkan penyimpanan data server dan layanan ruang pusat data bagi kliennya.
Meski perusahaan yang dibangun Otto tergolong masih baru, diketahui pria berumur 68 ini sudah memiliki pengalaman selama empat dekade lebih di industri ini. Mulanya, ia menimba ilmu di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, sebuah universitas publik di Jerman dan tamat dengan gelar sarjana teknik elektro pada 1980.
Setelah lulus dari Jerman, Otto pulang ke Indonesia untuk merawat ibunya dan sekalian memulai proyek pertamanya. Melansir catatan Kompas, proyek pertama Otto adalah pemrograman lokal berbentuk perangkat lunak kepada salah satu perusahaan minyak di Papua. Perangkat lunak ini berfungsi untuk mengelola pencairan pinjaman nelayan di sana.
Pengalaman Panjang Toto Sugiri
Kesuksesan Otto dapat ditarik panjang dari pekerjaan pertamanya sebagai IT General Manager di Bank Bali pada tahun 1983. Di sini Otto menciptakan perangkat lunak yang dikustomisasi untuk membantu kegiatan transaksional bank. Dengan perangkat ini, Bank Bali menjadi salah satu lembaga keuangan pertama di Indonesia yang melakukan transaksi melalui komputer. Berkat legasi yang ia torehkan, Otto dipromosikan menjadi VP Information Technology bank tersebut.
Meski sudah memiliki jabatan mentereng di bank, Otto meninggalkan kursinya itu setelah enam tahun bekerja, tepatnya pada 1989. Alasannya: politik tidak sehat dalam perusahaan. Ia lalu mengikuti kata hatinya untuk menjadi seorang provider perangkat lunak yang mampu membantu banyak perusahaan.
Bersama lima orang rekan kerjanya di Bank Bali, Otto membangun perusahaan bernama Sigma Cipta Caraka. Melanjutkan program yang telah ia bangun semasa di Bank Bali, Otto menawarkan produk perangkat lunak yang dapat membantu proses komputerisasi bank.
Kala itu, Otto memiliki modal sebesar US$ 200 ribu yang hanya cukup untuk membiayai kegiatan perusahaan selama 10 bulan. Alih-alih menetapkan tujuan yang fantastis untuk perusahaan perdana, Otto merumuskan tujuan sederhana untuk Sigma Cipta Caraka.
“Kami memulai dengan tujuan sederhana untuk menjadi perusahaan perangkat lunak yang memiliki produk dan dipakai oleh lebih dari 10 perusahaan. Sesederhana itu,” kata Otto dilansir dari TechinAsia.
Meski memiliki tujuan yang sederhana, Sigma justru terbantu oleh kebijakan pemerintah yang kala itu sedang giat memperbaiki regulasi di industri perbankan. Jumlah bank di Indonesia pun menjamur hingga 240 bank pada tahun 1994. Nilai ini meningkat dua kali lipat dari tahun 1988 dimana hanya ada 111 bank di Indonesia.
Dengan situasi yang mendukung, tak sampai dalam waktu setahun Sigma Cipta Caraka berhasil mencapai puncak pendapatan hingga US$ 1,2 juta dolar. Perusahaan ini juga memiliki 15 anak perusahaan dan 50 bank pengguna jasa perusahaan.
Berani Berinovasi
Belum puas dengan keberhasilan Sigma, Otto kembali dengan gebrakan baru dengan perusahaan bernama Indonet. Awalnya, teman Ottolah yang menawarkan ide untuk membuat layanan internet pertama di Indonesia.
Sama seperti awal pembangunan Sigma, tujuannya pun sederhana, yaitu agar para pelajar Indonesia bisa mengakses materi pembelajaran dari internet dengan murah dan cepat. Sebab pada masa itu, butuh waktu dan uang yang banyak untuk memperoleh buku pelajaran. Indonet lalu resmi diluncurkan pada 1994 sebagai penyedia layanan internet pertama di Indonesia.
Dalam memperluas sayap Sigma, Otto juga membuat sebuah anak perusahaan bernama BaliCamp di Bedugul. Salah satu proyek besar yang dilakukan BaliCamp adalah pengecekan ejaan bahasa Indonesia untuk Microsoft. BaliCamp berhasil menggaet talenta lokal dan internasional, sebut saja Co-founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison.
Menurut Leontinus, BaliCamp adalah salah satu tempat yang paling bergengsi untuk bekerja pada masanya. Namun BaliCamp terpaksa tutup karena peristiwa bom Bali tahun 2002.
Pada akhir 2007, Sugiri menjual kepemilikan Sigma kepada PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Penjualan ini bersamaan dengan tujuan BUMN ini untuk mengembangkan sektor infrastruktur dalam negeri.
Comeback dengan DCI
Meski telah menjual anak pertamanya, Sigma Cipta Caraka kepada negara, Toto tak patah arang dan kembali mendirikan perusahaan teknologi. Pada 2011, Toto mendirikan perusahaan data tingkat empat pertama di Indonesia dan Asia Tenggara bernama Data Center Indonesia (DCI). Untuk mendanai operasional perusahaan, DCI menggunakan modal US$ 200 juta atau setara Rp 2,8 triliun.
Tangan dingin Otto masih berlanjut hingga perusahaan ini menjadi perusahaan terbuka pada 6 Januari 2021. Menurut catatan Katadata, harga saham perusahaan dengan kode DCII ini sudah melesat hampir 11.000% dari nilai penawaran perdana atau IPO.
Pada akhir 2021, saham DCII ditutup di angka Rp 43.975, meningkat 13 % dari penutupan sebelumnya yaitu Rp 38.900. Kesuksesan DCII berhasil menggiring kapitalisasi pasar perusahaan senilai Rp 104,8 triliun di akhir tahun lalu, menurut data RTI.
Kini, Toto menjabat sebagai Presiden Direktur DCI dan memegang 29,9 % saham perusahaan atau setara 712,8 juta lembar saham. Tidak sendiri, Otto membangun DCI Indonesia bersama dengan Marina Budiman.
Marina sendiri sudah bekerja dengan Otto sejak karier pertamanya di Bank Bali, Sigma Cipta Caraka, dan Indonet. Kerja sama antar kolega ini juga mengantarkan Marina ke peringkat 30 dari 50 Orang Terkaya di Indonesia versi Forbes.