Pertamina Raup Rp5,9 T dari Kelebihan Penerimaan Subsidi Premium 2020

SPBU Pertamina ketika masih menjual BBM bersubsidi jenis Premium.
11/10/2022, 12.18 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat PT Pertamina (Persero) menerima kelebihan penerimaan sebesar Rp 5,87 triliun atas selisih Harga Jual Eceran (HJE) formula dengan HJE penetapan pemerintah dalam penyaluran Jenis BBM Khusus Penugasan atau JBKP Premium pada tahun 2020.

BPK melaporkan, nominal Rp 5,87 triliun tersebut terdiri dari kelebihan penerimaan atas pendistribusian JBKP Premium wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan non-Jamali masing-masing sebesar Rp 1,65 triliun dan Rp 4,22 triliun.

“Terkait kebijakan harga jual JBKP, PT Pertamina mengalami kelebihan penerimaan sebesar Rp 5,87 triliun atas selisih HJE formula dengan HJE penetapan Pemerintah dalam penyaluran JBKP tahun 2020,” tulis laporan BPK, dikutip pada Selasa (11/10).

Untuk itu, BPK merekomendasikan Direksi Pertamina agar berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, Menteri ESDM dan Menteri BUMN untuk menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan penerimaan Pertamina atas kegiatan penyaluran JBKP Premium tahun 2020 dalam surat Menteri Keuangan.

Pj. Vice President Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari mengatakan bahwa kelebihan penerimaan atas pendistribusian JBKP (Premium) tahun 2020 mengacu kepada hasil pemeriksaan 2020, bukan 2022, dikarenakan terdapat selisih HJE formula dengan HJE penetapan Pemerintah yang telah diterima sebelumnya sebagai dampak dari penurunan harga minyak mentah dunia.

"Kelebihan HJE tersebut telah dikoordinasikan dengan Pemerintah pada Mei 2021 melalui Kementerian Keuangan/Dirjen Anggaran. Kelebihan penerimaan tersebut telah dikembalikan kepada Pemerintah dg cara melakukan offset dengan piutang Pertamina kepada pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Sebagai informasi, pada 2021 Pertamina mencatatkan pendapatan sebesar US$ 57,51 miliar naik dibanding tahun lalu sebesar US$ 41,47 miliar. Laba bersih sebesar US$ 2,045 miliar atau Rp 29,3 triliun naik hampir dua kali lipat dibanding tahun 2020 sebesar US$ 1,05 miliar atau Rp 15,3 triliun.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menjelaskan perusahaan mencetak pendapatan US$ 57,51 miliar sepanjang 2021 atau meningkat 39% dari pencapaian 2020 sebesar US$ 41,47 miliar. Sebagian pendapatan datang dari sektor hulu.

“Target harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 40 per barel di APBN dan RKAB kami rata-rata ICP di 2021 adalah US$ 68 per barel. Dari sanalah kami kemudian dapat windfall. Jadi selain produksi meningkat juga karena harga minyak," kata Nicke beberapa waktu lalu, Rabu (8/6).

Pertamina juga mencatatkan EBITDA senilai US$ 9,45 miliar. Angka ini naik 19% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 7,95 miliar. “Inilah hasil kerja keras kita di tengah-tengah kondisi yang sangat sulit di tahun 2021,” sambung Nicke.

Selain itu, Nicke menjelaskan ada sejumlah penghematan yang dilakukan. Melalui program Cost Saving, PT Pertamina melakukan penghematan senilai US$ 1,3 miliar. Adapula program Cost Optimization yang berhasil menghemat US$ 2,2 miliar. “Cost Avoidance US$ 350 juta dan Revenue Enhancement US$ 0,5 miliar,” ujarnya.

Selain memperoleh Windfall, upaya efisiensi yang dilakukan oleh PT Pertamina juga berdampak pada perolehan laba tahun 2021. Nicke menerangkan, efisiensi merupakan cara Pertamina untuk bisa bertahan selama pandemi Covid-19.

Catatan redaksi: berita ini telah mengalami perubahan dengan menambahkan konfirmasi dari Pertamina terkait hasil laporan BPK pada paragraf 5 dan 6.