CT Tak Serap Rights Issue Garuda, Ini Besaran Dilusi Sahamnya

Garuda.Indonesia/instagram
Garuda Indonesia
Penulis: Syahrizal Sidik
28/12/2022, 17.58 WIB

Perusahaan milik konglomerat Chairul Tanjung, Trans Airways, memastikan tidak berpartisipasi dalam aksi korporasi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) atau rights issue PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).

Hal ini ditegaskan Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, dalam paparan publik yang digelar di Jakarta, Selasa kemarin (27/12). "Trans Airways tidak melakukan exercise saham ini, sehingga tentu saja ada konsekuensinya," kata dia.

Saat ini, Trans Airways tercatat sebagai pemegang saham terbesar kedua di emiten maskapai BUMN tersebut dengan porsi kepemilikan 28,27%. Pemerintah bertindak sebagai pengendali dengan kepemilikan 60,54%. Adapun, pemegang saham publik menguasai sebesar 11,19%.

Dalam prospektus yang dipublikasikan, Garuda berencana menerbitkan sebanyak 63,2 miliar saham baru seri C dengan harga pelaksanaan Rp 196 per saham. Jumlah tersebut sekitar 70,95% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah penawaran umum terbatas II (PUT II). Dari hasil aksi korporasi ini, perseroan akan mendapatkan tambahan modal sekitar Rp 12,3 triliun.

Pemerintah sebagai pemegang saham utama akan melaksanakan haknya sesuai dengan bentuk penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 7,5 triliun. Perkembangan terbaru, PMN ini telah dicairkan pada Selasa (20/12).

“Kami optimistis realisasi PMN ini akan semakin memperkuat langkah Garuda untuk terus mengakselerasikan proses restrukturisasi, yang kami proyeksikan dapat rampung pada akhir tahun ini,” bebernya.

Adapun, bagi pemegang saham yang tidak menggunakan haknya untuk melaksanakan rights issue akan mengalami dilusi saham maksimum 70,95% setelah dilaksanakannya Penawaran Umum Terbatas (PUT) II.

Sampai dengan periode kuartal ketiga tahun ini, Garuda tercatat membukukan keuntungan senilai US$ 3,70 miliar atau setara Rp 58,02 triliun dengan asumsi kurs rata-rata Rp 15.641 per US$. Kinerja itu berkebalikan dari rugi senilai US$ 1,66 miliar atau sekitar Rp 25,96 triliun pada periode yang sama pada tahun sebelumnya.

GIAA tercatat membukukan kenaikan pendapatan usaha senilai US$ 1,50 miliar, meningkat 60,34% dari periode sebelumnya US$ 939,02 juta. Salah satu pos yang memberi pendapatan cukup signifikan adalah pendapatan dari restrukturisasi utang senilai US$ 2,85 miliar.

Reporter: Zahwa Madjid