Incar Rp 9,05 T dari IPO, Ini Resiko dan Potensi Pertamina Geothermal
Calon emiten energi sumber daya panas bumi, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk sudah bisa dibeli oleh publik sejak Senin (20/2) lalu melalui penawaran perdana atau initial public offering (IPO) saham.
Perusahaan yang akan menggunakan kode PGEO ini menetapkan harga per saham Rp 875 dan menawarkan 103 miliar saham. Dengan demikian, anak usaha PT Pertamina ini berpotensi mengantongi dana hingga Rp 9,05 triliun.
Melansir prospektusnya, PGEO menjelaskan beberapa resiko dan potensi perusahaan kepada para calon investor.
Adapun resiko seperti industri panas bumi tidak memiliki metodologi yang dibakukan sebagai standar tunggal secara internasional mengenai cara data cadangan sumber daya panas bumi diperkirakan, dicatat, dan disertifikasi.
PGEO juga menjelaskan bahwa penentuan cadangan sumber daya panas bumi merupakan kegiatan yang bersifat probabilistik atau kemungkinan sehingga tidak terdapat jaminan bahwa data cadangan sumber daya panas bumi perseroan dapat mencerminkan hasil aktual yang dimiliki perseroan secara akurat.
“Seluruh perkiraan cadangan sumber daya panas bumi bersifat tidak pasti dan karenanya hanya merupakan informasi yang digunakan untuk memperkirakan cadangan sumber daya panas bumi yang akan menghasilkan pendapatan bagi Perseroan,” tulis manajemen dalam prospektus dikutip Selasa (21/2).
Dijelaskan juga terdapat kemungkinan bahwa perkiraan cadangan panas bumi tersebut akan direvisi apabila terdapat data tambahan yang lebih relevan. Apabila cadangan sumber daya panas bumi yang sebenarnya (aktual) lebih rendah dari yang diperkirakan, maka kegiatan usaha, kondisi keuangan dan hasil operasi perseroan dapat terpengaruh secara material.
“Kinerja keuangan perseroan bergantung pada kuantitas dan kualitas sumber daya panas bumi di WKP,” kata manajemen.
Sedangkan bagi investor, dapat terdampak kepada pembayaran dividen. Karena perseroan menuliskan dividen dibayarkan tergantung oleh pendapatan, kondisi keuangan, arus kas, kebutuhan modal, dan belanja modal PGEO.
Di sisi lain, perseroan saat ini fokus pada pengembangan tambahan kapasitas terpasang sebesar 165MW.
Adapun sebesar 110MW ditambahkan pada WKP Hululais dan sebesar 55MW di WKP Lumut Balai dan Margabayur. Lalu, 435MW yang akan dikembangkan secara konvensional maupun dengan pemanfaatan PLTP skala kecil pada area WKP brownfield perseroan.
“Dalam lima tahun ke depan, perseroan memperkirakan akan dapat menyediakan tambahan 600 MW kapasitas terpasang untuk mulai beroperasi,” tulis manajemen dalam prospektus.
PGEO juga berencana untuk terus mengembangkan kapasitas terpasang lebih lanjut melebihi lima tahun ke depan dan akan berpartisipasi dalam lelang WKP baru untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, termasuk dengan berkolaborasi dengan operator panas bumi lain atau melalui akuisisi.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Nelwin Aldiansyah menjelaskan PGEO akan berfokus pada investasi brownfield untuk menambah pembangunan 600 MW sepanjang 2023-2027 mendatang. Sebagai informasi investasi brownfield adalah jenis investasi asing langsung. Dengan investasi brownfield, perusahaan membeli atau menyewa fasilitas yang ada.
PGEO menilai dengan investasi brownfield, perseroan dapat mengefisiensikan dana belanja modal atau capital expenditure (capex) karena cukup menggunakan sumber yang sudah ada.
“Melalui brownfield project, kami tidak lagi melalui eksplorasi. Cukup menggunakan sumber yang sudah ada ini akan membuat biaya listrik akan lebih bersaing dari sumber daya alam,” kata Nelwin.