PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) berhasil mencatatkan laba bersih tahun 2022 sebesar US$127,3 juta atau meningkat sebesar 49,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$85 juta. Selain laba bersih, pendapatan operasional perseroan juga naik 4,68 persen menjadi US$386,07 juta pada 2022.
“Kinerja positif ini dapat dicapai berkat program efisiensi, penjualan uap, listrik, dan pendapatan lain-lain,” ujar Sekretaris Perusahaan PGE Muhammad Baron dalam keterangan tertulis.
Baron mengungkapkan, harga jual uap dan listrik yang mengacu indeks US Producer Price Index (PPI) dan Consumer Price Index (CPI) mengalami peningkatan. Emiten dengan kode PGEO ini juga berhasil menurunkan beban operasional hasil dari program efisiensi.
Beban pokok pendapatan dan beban langsung lainnya perseroan mengalami penurunan sebesar 4,95% menjadi US$173 juta pada 2022, di mana pada tahun sebelumnya tercatat US$182 juta.
PGE juga senantiasa memaksimalkan kapasitas produksi panas bumi dengan menggunakan metode brine atau air panas. Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas produksi melalui metode co-generation technology dengan memanfaatkan brine.
Co-generation technology sudah diimplementasikan di PLTP Lahendong yang memanfaatkan brine sisa produksi uap sebesar 700 kilo watt (KW).
Saat ini PGE mengelola 14 wilayah kerja panas bumi dengan kapasitas terpasang 1.877 MW yang terdiri dari 672 MW dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skenario Kontrak Operasi Bersama (KOB). Jumlah tersebut mewakili 80 persen dari total kapasitas terpasang panas bumi di Tanah Air.
PGE menargetkan untuk meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung oleh PGE menjadi 1.272 MW pada 2027 dan 1.540 MW pada 2030.
Peluang Kredit Karbon
Peningkatan kinerja keuangan PGE, salah satunya juga ditopang oleh kredit karbon sebagai sumber pendapatan baru atau new revenue generator. Kredit karbon berhasil menyumbang US$747 ribu atau sekitar Rp11,2 miliar (kurs Rp15 ribu).
Dalam laporannya, pendapatan kredit karbon ini dihasilkan oleh dua pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), yaitu PLTP Ulubelu Unit 3 dan 4 serta PLTP Karaha. Dua PLTP tersebut menghasilkan setara 1,7 juta ton pengurangan emisi karbon yang dihitung sejak 2020.
Kredit karbon merupakan merupakan representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Ini berarti, perusahaan dapat mengeluarkan emisi karbondioksida atau gas rumah kaca lainnya dalam jumlah tertentu sesuai regulasi yang telah ditentukan.
Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki maka perusahaan tersebut bisa menjual kreditnya di pasar karbon.
Menurut Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury, perusahaan pelat merah diharapkan dapat melakukan jual beli karbon untuk memenuhi target penurunan emisi Indonesia.
“Kita melihat kolaborasi antara BUMN sendiri untuk membangun kerja sama dalam menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN kita juga bisa kerja sama dengan negara lain. Pada intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi,” ujarnya, dikutip dari Jawapos.com, Minggu (19/3).
Sejalan dengan langkah Kementerian BUMN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah meluncurkan perdagangan karbon. Mulai 2023-2024, perdagangan karbon dilakukan di subsektor pembangkit tenaga listrik secara mandatory.
Perdagangan karbon di Indonesia tercatat memiliki nilai yang cukup tinggi. Berdasarkan catatan Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), nilai perdagangan karbon di Indonesia dapat mencapai US$300 miliar atau lebih dari US$4.000 triliun per tahun. Angka tersebut berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).