PTBA Agendakan Bagi Dividen Pekan Depan, Berikut Prospek Sahamnya

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Pekerja melintas di dekat kapal tongkang pengangkut batu bara di kawasan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan.
Penulis: Syahrizal Sidik
9/6/2023, 16.04 WIB

Emiten pertambangan batu bara BUMN, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) akan membahas mengenai pembagian dividen dalam agenda Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Kamis pekan depan, 15 Juni 2023.

Dalam surat pemanggilan RUPST yang dipublikasikan, terdapat 7 mata acara rapat. Di antaranya persetujuan laporan tahunan dan pengesahan laporan keuangan konsolidasian serta penetapan penggunaan laba bersih untuk dividen tahun buku 2022.

Sebagai catatan, selama lima tahun terakhir PTBA tak pernah absen membagi dividen jumbo. Pada tahun buku 2021 misalnya, perseroan membayarkan dividen senilai Rp 7,9 triliun yang dibayarkan pada Juni 2022.

Sepanjang tahun 2022, PTBA mencatatkan laba bersih sebesar Rp 12,6 triliun atau naik 59,5% dibanding dengan tahun 2021 yang senilai Rp 7,9 triliun. Sementara itu dari sisi perolehan laba sebelum pajak, depresiasi dan amortisasi atau EBITDA juga naik 52,6% secara tahunan menjadi Rp 17,7 triliun.

Sementara di sepanjang periode kuartal pertama tahun ini, di tengah penurunan harga komoditas batu bara, PTBA mencatatkan kenaikan produksi 7% secara tahunan menjadi Rp 6,8 juta ton. Sedangkan, dari sisi penjualan, total volume penjualan batu bara PTBA mencapai 8,8 juta ton atau tumbuh 26% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 7 juta ton.

Di saat yang sama, rata-rata harga jual batu bara PTBA atau average selling price (ASP) di kisaran Rp 1,1 juta/ton. Stabilnya harga jual serta peningkatan volume penjualan mengerek kenaikan pendapatan Bukit Asam sebesar 21% secara tahunan menjadi Rp 10 triliun.

Direktur SDM PTBA Suherman mengungkapkan, tantangan utama PTBA terletak pada kenaikan harga pokok penjualan. Maka dari itu, manajemen terus berupaya memaksimalkan potensi pasar dalam negeri dan peluang ekspor, serta efisiensi secara terukur di semua lini.

“Harga pokok penjualan mengalami kenaikan karena biaya jasa penambangan, bahan bakar, royalti, angkutan kereta api. Karena itu, PTBA terus berupaya memaksimalkan potensi pasar di dalam negeri serta peluang ekspor," ucap Suherman.

Pertumbuhan pendapatan PTBA tercatat melampui emiten mineral hitam lainnya seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) hingga PT Kideco Jaya Agung (Kideco) yang merupakan bagian dari PT Indika Energy Tbk (INDY). Pada kuartal I-2023, ITMG mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 12% secara tahunan sementara untuk Kideco naik 17%.

Ciptadana Sekuritas dalam laporan risetnya memprediksi, kinerja bisnis PTBA akan ditopang oleh membaiknya kinerja operasionalnya. Pada kuartal I-2023, nisbah kupas atau dikenal dengan Stripping Ratio (SR) konsolidasian PTBA berada berada di 7,1 kali. Namun dalam beberapa kuartal ke depan SR PTBA diekspektasikan menurun.

“Kami perkirakan stripping ratio akan kembali normal pada kuartal selanjutnya sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh perseroan sebesar 6,3 kali setelah aktivitas pra-pengupasan di tambang Air Laya menjadi normal di kuartal berikutnya,” tulis Ciptadana Sekuritas.

Dalam dunia pertambangan, stripping ratio merupakan salah satu indikator operasional perusahaan yang mengindikasikan rasio jumlah material yang harus dikupas (overburden removal) untuk mendapatkan bijih atau material yang diinginkan.

Stripping ratio juga menunjukkan beban operasional dalam industro pertambangan. Semakin tinggi rasionya, maka bebannya pun akan semakin besar dan dapat menggerus laba. 

Adapun dari risi likuiditas, PTBA masih memiliki kas dan setara kas mencapai Rp 15,5 triliun atau setara dengan 46,4% dari total aset pada periode tiga bulan pertama tahun ini. Porsi kas dan setara kas terhadap total aset mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 45,4% atau meningkat dari 36,1% pada akhir 2021.

Pada Jumat ini (9/6), harga saham perseroan bergerak naik 2,42% ke level Rp 3.380 per saham dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 38,94 triliun.