PT Pertamina (Persero) berhasil mencetak pendapatan, EBITDA dan laba bersih tertinggi sepanjang sejarah pada tahun 2022 setelah dua tahun sebelumnya dihantam pandemi Covid-19. Keberhasilan transformasi disebut menjadi kunci keberhasilan mendulang laba.
Pendapatan Pertamina tahun lalu sebesar US$ 84,89 miliar, dengan EBITDA US$ 13,59 miliar dan laba bersih US$ 3,81 miliar. Semua catatan keuangan tersebut mencetak rekor tertingginya sepanjang sejarah korporasi.
Bila dibandingkan 2021, laba bersih Pertamina menyentuh US$ 2,04 miliar. Angka itu lebih tinggi dari laba yang ditorehkan pada 2020 lalu yang sebesar US$ 1,05 miliar. Laba bersih 2020 menjadi keuntungan yang paling sedikit yang diterima Pertamina selama enam tahun terakhir.
"Apakah itu sederhananya karena piggyback key driver karena kenaikan harga ICP, lihat data tersebut, datanya memberikan penjelasan yang gamblang," kata Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini dalam acara Indonesia Data and Economic Conference Katadata 2023 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (20/7).
Ia mengakui pendorong utama pendapatan Pertamina berasal dari kurs dan harga minyak mentah atau ICP. Tapi kinerja tahun lalu tidak sepenuhnya karena dua faktor tersebut. Hal ini terlihat dari perbandingan kinerja keuangan 2012, 2014 dan 2022 dimana pada tiga periode tahun tersebut sama-sama terjadi lonjakan ICP.
Pada 2012 dan 2014 terjadi lonjakan harga ICP yang levelnya hampir setara dengan tahun lalu, bahkan mencapai US$ 117 per barel. Pada saat itu, kurs rupiah juga berkinerja jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Meski harga ICP dan kinerja rupiahnya jauh lebih baik, tetapi profitabilitasnya tidak setinggi 2022. Pendapatan perusahaan saat itu sebesar US$ 70,92 miliar pada 2012 dan US$ 70,63 miliar pada 2014.
Selain cetak profitabilitas tinggi, Pertamina juga disebut berhasil mencatatkan efisiensi yang lebih baik. Rasio cost to revenue pada tahun lalu turun ke 89% dari tahun 2014 sebesar 94%. "Artinya tahun 2020, 2021, 2022 proses transformasi kita sudah memberikan hasil, dan numbers will speak for itself," kata Emma.
Sebelumnya Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati memastikan kinerja kinclong perusahaan pelat merah ini bukan karena faktor kebetulan atau berkah (windfall) harga minyak maupun kurs rupiah. Kinerja laba berhasil naik 86% dibandingkan 2021 karena faktor kontribusi para staf dan efektivitas biaya (cost).
“Ada yang mengatakan, 'oh ini kan karena pengikatan ICP', kalau dikatakan bahwa kurs itu tinggi, kami pernah mengalami kurs tinggi juga di beberapa tahun. Kita ICP juga pernah di atas 100, tapi pencapaian tidak demikian," ujar Nicke dalam Media Briefing Capaian Kinerja 2022 di Jakarta, Selasa (6/6).
Ia menjelaskan, kontribusi paling besar yang menopang kenaikan laba Pertamina adalah penurunan beban biaya. Menurut Nicke, beban biaya berangsur turun dari 93%-94% dari pendapatan pada 2012-2014 menjadi 89% pada 2022.
Nicke menambahkan, kontribusi pengoptimalan biaya atau cost optimization pada periode 2021-2022 telah berkontribusi pada penghematan hingga mencapai US$ 3,273 miliar.
“Tahun 2022 kami bisa tutup dengan kinerja tertinggi dalam sejarah Pertamina. Kami membukukan keuntungan US$ 3,81 miliar. Revenue meningkat 48% menjadi US$ 85 miliar dolar AS, ini sekitar sepertiga-nya APBN," kata Nicke.