Perusahaan menara telekomunikasi BUMN, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) diperkirakan dapat meningkatkan rasio kolokasi atau tenansi rasio menjadi 1,61 kali pada tahun depan.
Rasio tenansi dapat diartikan sebagai jumlah total penyewaan yang dimiliki sebuah perusahaan menara telekomunikasi. Rasio tenansi membagi antara perusahaan telekomunikasi yang menjadi penyewa dibagi dengan jumlah total menara.
Analis BCA Sekuritas Fakhrul Arifin menilai estimasi ini sejalan dengan potensi MTEL yang bisa meraup 65 ribu tenan baru pada tahun depan. Di tahun ini saja, tenansi rasio diproyeksikan akan meningkat dari 1,47 kali di tahun 2022 menjadi 1,53 kali di tahun 2023 dan naik lagi menjadi 1,61 di 2024.
Bila dilihat secara industri, rasio tenansi emiten menara telekomunikasi lainnya seperti PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) sudah di level 1,83 kali pada semester pertama 2023. Sedangkan, emiten menara milik Grup Djarum, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) sudah di level 1,81 kali.
BCA Sekuritas menilai, pertumbuhan tenasi rasio tersebut akan berimplikasi pada kinerja keuangan Mitratel di semester kedua tahun ini dengan melanjutkan tren pertumbuhan dua digit, baik dari sisi pendapatan maupun laba bersih. Bahkan, secara EBITDA bisa lebih tinggi dari kedua kompetitornya.
Sebagai gambaran, pada enam bulan pertama tahun ini, perusahaan membukukan kenaikan laba bersih 15% senilai Rp 1,02 triliun. Sedangkan, pendapatanya naik 11% menjadi Rp 4,1 triliun. Pendapatan itu, terutama ditopang dari pertumbuhan penyewaan menara yang meraih pendapatan Rp 3,45 triliun, meningkat 15,5% secara tahunan.
Pada semester pertama 2023, MTEL memiliki 36.719 menara, meningkat 27,6% dari periode yang sama tahun lalu. Sejalan dengan peningkatan jumlah menara, jumlah tenan juga meningkat 24,6% menjadi 54.718 tenan.
“Faktor pendorong utama berasal permintaan dari tenan yang meningkat secara eksponential di luar Jawa, mengingat target pemerintah untuk mendistribusikan penggelaran network secara merata di Indonesia," kata Fakhrul, Senin (25/9).
Meski begitu, Fakrul menilai, koreksi yang terjadi di saham MTEL ke bawah level psikoligis Rp 700 per unit tidak mencerminkan fundamental dan outlook perseroan. Pada Senin ini misalnya, saham MTEL terkoreksi 0,74% ke level Rp 675 per saham dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 56,38 triliun.
“Harga saham memang mengalami koreksi, tetapi faktor teknikal lebih bermain karena sebelumnya sempat uptrend. Namun, dari sisi fundamental tetap solid dan valuasi masih relatif terdiskon dibanding harga wajarnya," kata dia.
BCA Sekuritas menetapkan target harga wajar saham MTEL ada di Rp 950/saham atau setara perhitungan dengan 12.6 kali EV/EBITDA untuk tahun 2024. Harga tersebut relatif lebih murah dibandingkan dengan emiten menara lainnya melihat peluang pertumbuhan perusahaanke depan.
Dengan target harga tersebut, harga saham MTEL yang diperdagangkan di pasar saat ini sedang terdiskon sebesar 41% jika mengacu pada harga penutupan perdagangan Kamis 21 September 2023 di Rp level 675.
Selain Fakhrul, analis lain juga melihat bahwa MTEL menjadi saham pilihan di sektor industri menara telekomunikasi. Salah satunya adalah Mirae Asset Sekuritas.
"Kami masih mempertahankan rekomendasi overweight untuk sektor infrastruktur telekomunikasi dengan MTEL sebagai pilihan utama kami," tulis riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia, yang dipublikasikan belum lama ini. Mirae menetapkan target harga Rp890 untuk saham MTEL dan mencerminkan potensi kenaikan 32% dari harga saat ini.
Sementara itu, JP Morgan sebelumnya menargetkan harga saham Mitratel akan mencapai Rp 900 pada akhir tahun nanti dengan perkiraan valuasi harga saham dibanding EV/EBITDA mencapai sebesar 12 kali.