Wacana penggabungan atau merger atas penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia dinilai PT XL Axiata Tbk (EXCL) merupakan langkah yang baik bagi industri.
Namun terkait kabar merger antara XL Axiata dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) Presiden Direktur & CEO XL Axiata Dian Siswarini mengatakan, hal itu merupakan kewenangan Axiata Group Bhd selaku induk usaha.
“Konsolidasi sebenarnya baik buat industri. Pak menteri kan menyebutkan idealnya itu tiga operator konsolidasi baik buat industri, buat menjadi lebih sehat karena mungkin memang empat terlalu banyak,” kata Dian dalam acara Syukuran Anniversary XL Axiata 27th, di Jakarta, Senin (9/10).
Oleh karena itu Axiata Group Bhd, menurut Dian dari waktu ke waktu terus menjajaki opsi konsolidasi. Meski demikian, ia menilai opsi merger tersebut masih terlalu awal.
“Jadi kalau kemungkinan itu ada, karena perkawinan selalu harus ada kata sepakat. Sampai saat ini sebagai manajemen sebetulnya tidak banyak terlibat, karena yang banyak terlibat adalah stakeholder. Namun dari XL mendukung untuk terjadi konsolidasi,” kata ia.
Apalagi pembangunan infrastruktur terutama jaringan 5G perlu banyak investasi. Hal itu mengingat biayanya yang cukup mahal.
"Itu (konsolidasi) akan membuat investasi industri akan lebih efisien. Spektrum yang ada, akan lebih mumupuni, kemudian operator bisa menitikberatkan ke kualitas atau experience pelanggan," kata Dian.
Sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mendorong Indonesia hanya memiliki tiga operator seluler. Karena dianggap lebih sehat buat industri telekomunikasi. Untuk itu langkah Smartfren untuk merger, salah satu opsinya bersama XL Axiata mendapat dukungan.
Saat ini di Indonesia terdapat empat operator seluler, yakni Telkomsel yang merupakan anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), Indosat Ooredoo Hutchison (ISAT) yang merupakan hasil merger Indosat dan Tri, PT XL Axiata Tbk (EXCL), dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN).
Lebih lanjut ke depannya, jika hanya ada tiga operator maka kata Dian yang perlu dihindari adalah konotasi kartel. Sebab di industri telekomunikasi efisiensi adalah hal yang penting dalam pembangunan infrastruktur.
“Alhamdullilah dari tahun lalu price war lebih terkendali. Persaingan lebih sehat dan kualitas lebih terjaga, karena kita bisa manfaatkan investasinya itu untuk meningkatkan lagi dari level experience,” ujarnya.
Di sisi lain, XL Axiata menyambut baik kehadiran Starlink di Indonesia. Hal ini karena dapat memberikan pilihan ketersediaan teknologi yang mendukung operator agar dapat menyediakan layanan Internet dengan kecepatan tinggi di wilayah-wilayah terpencil.
“Starlink kami dari sisi operator tentunya selalu terbuka atas kerjasama. Tapi kalau melihat perkembangan dunia industri bahwa yang perlu diperhatikan adalah keseimbangan. Misalnya kalau ada operator baru sama yang sudah incombent harus mempunyai keseimbangan atau kesetaraan dari sisi regulasi, dari sisi playing field licence dan sebagainya,” kata Direktur & Chief Digital Transformation and Business Enterprise Officer XL Axiata Yessie D Yosetya.
Sebelumnya operator nirkabel terbesar di Malaysia, Axiata Group Bhd dan konglomerat Indonesia PT Sinar Mas Group menghidupkan kembali wacana penggabungan atas penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia.
Sumber Bloomberg menyebutkan XL Axiata dan Smartfren Telecom dikabarkan sudah membicarakan ini dengan para penasihat untuk membantu penjajakan potensi transaksi pada awal September. Opsi-opsi lain yang sedang dipertimbangkan adalah perjanjian berbagi jaringan dan kemitraan. Adapun pembicaraan masih dalam tahap awal dan belum ada kepastian bahwa kesepakatan apapun akan terjadi.
Opsi merger keduanya, pada awalnya ramai dibicarakan pada tahun 2021. Langkah itu menyusul merger Indosat dan Tri Indonesia yang berlangsung sukses dan tampaknya menjadi inspirasi operator lain untuk melakukan hal serupa. Aksi merger ini tak dipungkiri salah satunya untuk 5G, operator telekomunikasi membutuhkan 100 MHz agar dapat memberikan layanan 5G secara optimal.
Tak dipungkiri pula opsi merger menjadi solusi karena membuat perusahaan lebih sehat, baik itu secara keuangan, penguasaan frekuensi dan juga pelanggan.
Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengatakan, perusahaan masih akan menunggu dan melihat perkembangan lebih lanjut ke depannya. “Belum ada pembicaraan, tapi mudah-mudahan saja,” kata Merza kepada Katadata.co.id, Selasa (5/9).