INA Investasi Rp 28 Triliun ke Bisnis EBT, Ini Sektor yang Disasar

Pertamina Geothermal Energy
INA menginvestasikan dananya Rp 28 triliun ke sektor EBT, salah satu yang menjadi sasaran investasinya adalah pembangkit listrik geothermal.
Penulis: Syahrizal Sidik
1/11/2023, 17.42 WIB

SINGAPURA - Lembaga pengelola dana abadi Indonesia Investment Authority (INA) menyatakan mengalokasikan 20% dari total alokasi investasinya ke sektor energi baru terbarukan (EBT).

Direktur Utama INA, Ridha DM Wirakusumah, menuturkan alokasi itu setara Rp 28 triliun dari total dana investasi yang saat ini dikelola mencapai Rp 140 triliun. Perusahaan yang menjadi sasaran investasi INA adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal, perusahaan produsen baterai kendaraan listrik (EV battery), dan proyek transisi energi PLTU di Cirebon.

"Yang terbaru adalah di bisnis yang terkait preservasi hutan atau nature based solution, kita sudah menandatangani nota kesepahaman,” kata Ridha, saat ditemui di sela acara Global Transition Finance Summit, yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Singapura (SGX Group) dan OMFIF, di Singapura, Rabu (1/11).

Ridha mengungkapkan, saat ini portofolio investasi INA terbagi dalam empat klaster besar. Pertama adalah di sektor infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan bandara. Selanjutnya investasi di sektor digital, kesehatan dan terakhir adalah di bisnis energi baru terbarukan. 

Sebagaimana diketahui, investasi di bisnis EBT di Indonesia masih lebih rendah dibanding sektor minyak dan gas maupun mineral batu bara. Tercatat, menurut data Kementerian ESDM, total investasi di sektor EBT sejak tahun 2020 belum beranjak dari level US$ 1,6 miliar. Jauh dibanding investasi batu bara yang mencapai US$ 5,6 miliar dan migas US$ 13,9 miliar. 

Sedangkan, untuk untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia setidaknya membutuhkan kucuran investasi US$ 17,4 miliar per tahunnya. "Sulitnya pendanaan untuk transisi energi menjadi tantangan bagi seluruh dunia, tidak hanya dialami Indonesia,” ucap mantan Direktur Utama PermataBank ini.

 
Meski begitu, Ridha menyebut akan terus menjajaki investasi ke semua sektor yang potensial. Di sektor infrastruktur, misalnya, perusahaan di tahun ini telah mengakuisisi 2 ruas tol milik PT Hutama Karya (HK) yakni ruas Medan-Binjai (MB) dan Bakauheni-Terbanggi Besar (BTB) sepanjang 157 kilometer (km) senilai Rp 20,5 triliun. Dia pun menyebut, masih ada ruas tol baru lainnya yang berpotensi menjadi portofolio investasi INA.
 
“Peluang ada di jalan tol kita masuk, ada di digital dan kesehatan juga masuk. Sebentar lagi kita akan kita umumkan, jangan tanya saya apa sektornya. Nanti tunggu tanggal mainnya,” tutur dia.
 
Sebagaimana diketahui, sejak dua tahun didirikan, INA saat ini sudah menginvestasikan dana lebih dari Rp 50 triliun. Meski memiliki dana kelolaan di atas Rp 140 triliun (US$ 9 miliar), Ridha menilai jika membandingkannya dengan total produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang sudah mencapai US$ 1.300 miliar masih terbilang kecil.
 
Sebagai perbandingan, Singapura yang nilai PDB brutonya dua pertiga dari Indonesia atau setara US$ 400 miliar membenamkan dananya di SWF milik pemerintah Singapura, GIC US$ 700 miliar dan Temasek US$ 300 miliar. 
 
“Dari Rp 75 triliun dana penyertaan awal pemerintah kepada INA (US$ 5 miliar), sekarang sudah naik menjadi Rp 140 triliun, jika dibandingkan dengan Temasek dan GIC masih jauh,” tutur dia.