SINGAPURA - Lembaga pengelola dana abadi Indonesia Investment Authority (INA) menyatakan mengalokasikan 20% dari total alokasi investasinya ke sektor energi baru terbarukan (EBT).
Direktur Utama INA, Ridha DM Wirakusumah, menuturkan alokasi itu setara Rp 28 triliun dari total dana investasi yang saat ini dikelola mencapai Rp 140 triliun. Perusahaan yang menjadi sasaran investasi INA adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal, perusahaan produsen baterai kendaraan listrik (EV battery), dan proyek transisi energi PLTU di Cirebon.
"Yang terbaru adalah di bisnis yang terkait preservasi hutan atau nature based solution, kita sudah menandatangani nota kesepahaman,” kata Ridha, saat ditemui di sela acara Global Transition Finance Summit, yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Singapura (SGX Group) dan OMFIF, di Singapura, Rabu (1/11).
Ridha mengungkapkan, saat ini portofolio investasi INA terbagi dalam empat klaster besar. Pertama adalah di sektor infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan bandara. Selanjutnya investasi di sektor digital, kesehatan dan terakhir adalah di bisnis energi baru terbarukan.
Sebagaimana diketahui, investasi di bisnis EBT di Indonesia masih lebih rendah dibanding sektor minyak dan gas maupun mineral batu bara. Tercatat, menurut data Kementerian ESDM, total investasi di sektor EBT sejak tahun 2020 belum beranjak dari level US$ 1,6 miliar. Jauh dibanding investasi batu bara yang mencapai US$ 5,6 miliar dan migas US$ 13,9 miliar.
Sedangkan, untuk untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia setidaknya membutuhkan kucuran investasi US$ 17,4 miliar per tahunnya. "Sulitnya pendanaan untuk transisi energi menjadi tantangan bagi seluruh dunia, tidak hanya dialami Indonesia,” ucap mantan Direktur Utama PermataBank ini.