Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menemukan adanya rekayasa pada laporan kinerja emiten farmasi pelat merah PT Kimia Farma Tbk (KAEF). Salah satu yang menjadi sorotan ialah penggelembungan jumlah distribusi.
Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, penemuan rekayasa ini termuat dalam laporan keuangan anak perusahaan Kimia Farma. "Seakan-akan penjualan semuanya bagus, padahal tidak. Entitas perusahaan anak-cucu perusahaan di KAEF," kata Arya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/6).
Arya menjelaskan KAEF juga memiliki masalah mengenai jumlah pabrik yang terlalu banyak, sehingga tidak efisien. Padahal, Kimia Farma tidak membutuhkan banyak pabrik. Sehingga perusahaan malah merugi yang ditaksir mencapai Rp 1,4 triliun. "Makanya dari 10 pabrik, bakal hanya tinggal lima pabrik yang akan dikelola," tulis Arya.
Arya menyebut, jika ditemukan ada permainan di ranah direksi, maka Kementerian BUMN tidak segan untuk memprosesnya ke ranah hukum, bahkan melakukan perombakan jajaran pengurus. "Untuk saat ini belum ada reorganisasi. Kalau dia ketahuan, diproses, gitu saja," tuturnya.
Arya mengatakan Kimia Farma sedang diinvestigasi pihak indenden. Namun, jika ada temuan yang janggal, BUMN tidak ragu untuk melaporkannya kepada Kejaksaan Agung. "Ya bisa saja. Ini kan sedang diaudit, habis itu di bawa ke sana. Sambil kami efisiensi," tuturnya.
Sebagai informasi, sepanjang tahun 2023, emiten BUMN farmasi ini membukukan pertumbuhan pendapatan 7,93% menjadi Rp 9,96 triliun dibandingkan dengan tahun 2022 sebesar Rp 9,23 triliun.
“Kimia Farma berhasil menjaga pertumbuhan penjualan di tahun 2023. Hal ini menunjukkan Kimia Farma memiliki fundamental bisnis yang kuat dan memiliki potensi untuk terus tumbuh secara berkelanjutan ke depannya,” kata David Utama, Direktur Utama KAEF.
Namun, dari sisi kinerja bottom line, emiten bersandi KAEF ini masih tertekan. Kimia Farma membukukan kerugian bersih Rp 1,82 triliun, lebih dalam dari tahun 2022 yang sebesar Rp 126,02 miliar.