Wabah virus corona diproyeksi menciptakan kerugian ekonomi di seluruh dunia mencapai hingga US$ 347 miliar atau sekitar Rp 4.962 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS. Hingga kini, covid-19 telah menjangkit lebih dari 98 juta orang dan menewaskan lebih dari 3.800 orang.
Kepala Ekonom Bank Pembangunan Asia atau ADB Yasuyuki Sawada menjelaskan, ada banyak ketidakpastian terkait penyebaran tentang virus corona termasuk dampak ekonominya. Untuk itu dibutuhkan beberapa skenario untuk memberikan lebih jelas gambaran potensi kerugian akibat covid-19.
ADB pun membuat sejumlah skenario terkait kerugian yang dapat timbul akibat virus corona. Pada skenario dasar, virus ini diperkirakan menimbulkan kerugian sebesar US$ 77 miliar atau memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,1%.
(Baca: Usai Sterilisasi Corona, Saudi Buka Kembali Masjidil Haram dan Nabawi)
Tiongkok mengalami kerugian paling besar yakni mencapai US$ 44 miliar, lalu negara berkembang Asia lainnya sebesar US$ 16 miliar, dan negara lainnya US$ 17 miliar.
Pada skenario moderat, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$ 156 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,2%. Ekonomi Tiongkok akan kehilangan US$ 102 miliar, negara berkembang Asia lainnya US$ 22 milir, dan sisanya US$ 31 miliar.
Sementara pada skenario terburuk, kerugian ekonomi dapat mencapai US$ 347 miliar dan memangkas pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 0,4%. Tiongkok berpotensi kehilangan US$ 237 miliar, negara berkembang Asia lainnya US$ 42 miliar, dan lainnya US$ 68 miliar.
"Kami berharap analisis ini dapat mendukung pemerintah saat mereka mempersiapkan tanggapan yang jelas dan tegas untuk mengurangi dampak manusia dan ekonomi dari wabah ini, ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (6/3).
Sementara itu, Lembaga Pemeringkat Global S&P memproyeksi wabah virus corona yang menyebar cepat diseluruh dunia menimbulkan kerugian ekonomi mencapai US$ 211 miliar atau sekitar Rp 3.000 triliun. Ekonomi Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Australia disebut paling terdampak wabah itu.
(Baca: Jokowi: Tak Perlu Takut Berlebihan dengan Virus Corona)
S&P memangkas perkiraan pertumbuhan tahun ini untuk Tiongkok menjadi 4,8% dari perkiraan sebelumnya 5,7%. Pertumbuhan Australia diramal melambat tajam menjadi hanya 1,2% dari tahun lalu 2,2%. Sementara Jepang dan Korea Selatan akan terdampak perlambatan pertumbuhan ekonomi masing-masing 0,5% dan 1%.
"Neraca risiko tetap downside karena transmisi lokal, termasuk di negara-negara dengan kasus yang dilaporkan rendah, transmisi sekunder di Tiongkok ketika orang kembali bekerja dan kondisi keuangan semakin ketat," kata S&P dikutip dari Reuters.
Dalam perkiraan lain, ekonomi Hong Kong kemungkinan akan berkontraksi sebesar -0,8% pada tahun 2020, Singapura akan datar, dan ekspansi Thailand kemungkinan melambat menjadi 1,6%.
(Baca: Sri Mulyani Godok Aneka Keringanan Pajak untuk Usaha Terdampak Corona)
Virus yang berasal dari provinsi Hubei ini telah merenggut lebih dari 3.000 nyawa di seluruh dunia dalam waktu kurang dari tiga bulan, mendorong pelonggaran kebijakan moneter di ekonomi utama termasuk Amerika Serikat.
S&P tidak memangkas perkiraan pertumbuhan untuk pasar negara berkembang di Indonesia, Malaysia, Filipina dan India, dengan alasan fakta bahwa infeksi yang dilaporkan di negara-negara tersebut masih rendah.
Namun, mereka mencatat prospek dapat dengan cepat memburuk jika tingkat kasus yang rendah terjadi karena pengujian tak maksimal dan jika negara-negara itu tersapu penularan keuangan.
Virus corona kini mulai merebak di luar Tiongkok. Meski jumlah kasus mencapai lebih dari 98 ribu, pasien terinfeksi yang sembuh mencapai lebih dari setengahnya.