Pemerintah siap menghadapi Uni Eropa dalam gugatan diskriminasi produk sawit Indonesia di organisasi perdagangan internasional (WTO). Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan pemerintah menyiapkan beberapa jurus guna menghadapi Benua Biru mengenai diskriminasi sawit.
Jerry mengatakan proses gugatan diskriminasi sawit Uni Eropa telah mendapatkan persetujuan seluruh kementerian dan lembaga, asosiasi, pelaku usaha serta praktisi hukum. Pemerintah juga telah melibatkan ahli hukum internasional sebagai pengacara.
Pemerintah juga menyiapkan daftar pertanyaan yang akan menjadi tuntutan di WTO. Targetnya, batas akhir penetapan pertanyaan selesai pada tanggal 10 Januari 2020 sebelum diajukan pada proses klarifikasi.
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri akan membahas semua hal teknis dalam memenangkan kasus ini. "Jadi semua sudah final dan solid pada minggu ini sehingga kami siap bawa ini ke jalur internasioanal," kata Jerry di Jakarta, Selasa (7/1).
(Baca: Wamendag Optimistis RI Menangkan Gugatan Diskriminasi Sawit Eropa )
Jerry juga mengatakan sebelum sidang dimulai, RI dan Uni Eropa akan menggelar forum konsultasi di Jenewa, Swiss tanggal 30 - 31 Januari 2020. Dalam forum tersebut pemerintah meminta klarifikasi Eropa atas berlakunya Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa.
"Perlu dilakukan konsultasi secepat mungkin karena tekanan Eropa komunitas kelapa sawit semakin gencar," kata dia. Panel gugatan akan dimulai satu bulan setelah konsultasi.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati mengatakan pengacara internasional yang digandeng pemerintah berbasis di Brusseles, Belgia. Namun ia tidak menyebutkan nama penasihat hukum pemerintah.
Pradnyawati juga menyampaikan tim hukum dalam negeri juga akan ikut dalam gugatan, namun mereka hanya mengawal pengacara asing sebagai bentuk pembelajaran kasus. "Kami juga melakukan bidding (pengacara) dalam negeri," ujarnya.
Kemendag secara resmi menggugat Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa ke WTO pada Senin (9/12) lalu. Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi dan membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel Indonesia. Dampaknya, ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa menjadi negatif dan citra komoditas ini terus buruk di perdagangan global.
Data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa terus menurun pada lima tahun terakhir. Nilai ekspor FAME mencapai US$ 882 juta pada periode Januari–September 2019 atau turun 5,58% dibandingkan periode yang sama pada 2018.
Sedangkan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 6,96% dari US$ 3,27 miliar pada periode Januari–September 2018 menjadi US$ 3 miliar secara tahunan.
(Baca: Soal Tudingan Biodiesel Uni Eropa, Kemendag Akui Kebijakan RI Lemah)