Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menyebut rencana pemerintah Presiden Joko Widodo mengubah skema gaji bulanan menjadi upahan per jam berpotensi melemahkan daya beli masyarakat. Penghasilan pekerja yang tidak tetap akan mengurangi kemampuan konsumsi.
"Akibatnya akan menyebabkan kegaduhan baru dan berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi, saya melihatnya ini lebih merugikan pada pekerja," kata Bhima saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (27/12).
(Baca: Jokowi Bakal Ubah Gaji Bulanan Menjadi Upah Per Jam)
Bhima menyebut aturan tersebut memang dicanangkan untuk melindungi pengusaha dari ancaman resesi global. Namun, dia menilai para pengusaha telah dimanjakan dengan berbagai macam insentif fiskal seperti pengurangan pajak. Sehingga dia menilai aturan tersebut tidak cocok untuk diterapkan lantaran merugikan pekerja.
Kebijakan itu dianggap bakal memicu pengusaha menerapkan sistem outsourcing tenaga kerja yang tidak memberikan kepastian bagi para pekerja. "Nanti akan menjamur outsourcing yang bayarannya per jam juga," kata dia.
Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, aturan tersebut untuk mendukung fleksibilitas dalam bekerja. Ia mengatakan, sistem pengupahan per jam tersebut akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
(Baca: Omnibus Law Bakal Atur Kemudahan PHK dan Jam Kerja Fleksibel)
Ada perhitungan khusus untuk menerapkan skema kerja tersebut. Rencananya, pekerja yang bekerja delapan jam sehari atau 40 jam per minggu akan mendapatkan upah bulanan, seperti yang berlaku saat ini. Sedangkan jam kerja di bawah 35 jam per minggu akan menerapkan aturan pengupahan per jam.
"Dalam konteks waktu kerja, fleksibilitas banyak dibutuhkan," kata Ida usai menghadiri rapat terbatas (ratas) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dengan Jokowi di Istana Bogor,
(Baca: Faisal Basri Nilai Omnibus Law Lemahkan Posisi Buruh dan Pemda)
Jumat (27/12).