Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 4,85-5,1% pada tahun depan. Proyeksi tersebut tidak jauh berbeda dari prediksi pertumbuhan tahun ini, 4,95-5,1%.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi global yang melambat masih memengaruhi perekonomian Indonesia. “Pengaruhnya besar. Kami melihat kemungkinan masih banyak tantangannya," kata dia di kantornya, Jakarta, hari ini (12/10).
Kelesuan perekonomian global, kata dia, disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Konflik terkait perdagangan itu menghambat aliran modal asing masuk ke instrumen investasi di Indonesia. Hal itu membuat nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tingkat investasi yang cenderung stagnan. Hariyadi memperkirakan, tantangan terkait biaya berbisnis (cost of doing business) seperti perizinan usaha, ketenagakerjaan, logistik, perpajakan, akses lahan, permodalan, energi, serta lemahnya daya beli masih akan memengaruhi investasi di Tanah Air.
(Baca: BI Sebut Ekonomi Global Belum Membaik, Ekonom Bicara Risiko Resesi AS)
Di luar faktor ekonomi, ada beberapa hal yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun depan. Hariyadi menilai, transisi kepemimpinan 2019-2024 berdampak positif terhadap perekonomian. Sebab, sejauh ini kondisi politik di Tanah Air stabil.
Namun, ia melihat masih ada tantangan yang cukup besar terkait efektivitas tata kelola pemeríntahan pusat dan daerah. Selain itu, optimisme dunia usaha terkait perekonomian 2020 perlu.
Caranya, pemerintah dapat meningkatkan optimalisasi kinerja industri melalui sinergi industri hulu dan hilir. Kemudian, Hariyadi usul perbaikan kebijakan di bidang ketenagakerjaan dan perpajakan. "Ini demi mendukung daya saing industri," ujarnya.
(Baca: Kemenkeu Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2020 Kembali Meleset dari Target)
Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, neraca perdagangan menunjukkan tren defisit selama beberapa tahun terakhir. Merosotnya kinerja ekspor dan meningkatnya impor membuat defisit neraca perdagangan terus terjadi.
Pada April 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 36 triliun. Defisit perdagangan ini merupakan yang terdalam sepanjang sejarah.
Shinta menilai, penyebab utama defisit lantaran tingginya ketergantungan impor. "Pada akhirnya mengakibatkan penurunan daya saing industri nasional," kata dia.
Selain itu, iklim investasi dinilai belum kondusif. Karena itu, ia mendorong percepatan realisasi perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) ke negara non-tradisional.
Kerja sama FTA tersebut dinilai dapat membuka akses pasar Indonesia sehingga produk manufaktur mampu bersaing di kancah internasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekspor dan investasi dapat terjaga di tengah ketidakpastian global.
(Baca: Permintaan Domestik Kuat, Pertumbuhan Ekonomi 2020 Diprediksi 5,14%)