Kondisi ekonomi global masih menantang di tengah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masih berlangsung, bahkan meluas ke negara-negara lain. Perang dagang tercatat telah menekan perdagangan dan perekonomian global. Risiko resesi AS pun masih membayangi.

Kepala Grup Sektoral dan Regional Depatemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Endy Dwi Tjahjono mengatakan optimisme terhadap ekonomi global sempat menguat seiring kemungkinan kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok. Namun, masalah baru membuyarkan peluang tercapainya kesepakatan dagang.

“Ada masalah baru, undang-undang AS yang mendukung pemrotes di Hong Kong dan Uighur, sehingga trade deal mentah lagi,” ujarnya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Senin (9/12).  

(Baca: Jokowi Sebut Ramalannya Soal ‘Winter Is Coming’ Jadi Kenyataan)

Adapun perang dagang yang terjadi antara AS dan Tiongkok jadi faktor pemberat ekonomi global tahun ini. Mengutip Bank Dunia, Endy mengatakan, pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksi hanya mencapai 3% tahun ini, turun dari tahun lalu 3,6%, dan tahun sebelumnya 3,8%.

Pertumbuhan ekonomi AS, Tiongkok, Jepang, kawasan Eropa dan India melemah. Bahkan, ekonomi India diprediksi turun drastis dari 7,1% tahun lalu menjadi hanya 5,9% tahun ini. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi global diprediksi sedikit membaik, meski masih lemah yakni 3,1%.

Di tengah perkembangan ini, kata Endy, kebijakan moneter bank sentral dunia masih akomodatif, termasuk Bank Indonesia (BI). “Kebijakan moneter masih longgar,” ujarnya, ketika membahas soal arah kebijakan moneter BI ke depan.

(Baca: Dampak Perang Dagang, Impor Tiongkok November Naik meski Ekspor Anjlok)

Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto mengatakan Indonesia tidak imun terhadap perlambatan ekonomi global. Namun, dampak perlambatan ekonomi di dua ekonomi terbesar dunia yakni AS dan Tiongkok terhadap ekonomi Indonesia tidak terlalu besar.

“Indonesia tidak imun tapi terpapar,” kata dia. Berdasarkan perhitungan Ryan, setiap perlambatan ekonomi AS sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi Indonesia tertarik turun 0,05%. Sedangkan setiap perlambatan ekonomi Tiongkok 1%, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun 0,27%.

Dampak perlambatan ekonomi global ke ekonomi domestik tidak telalu besar lantaran Indonesia tidak banyak bergantung pada ekspor dan bukan pemain utama dalam rantai pasokan dunia (global supply chain). Meski begitu, kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi alias pro growth dinilai perlu terus didorong agar tidak terjadi stagnasi ekonomi.

Apalagi, kondisi perekonomian dunia masih menantang. Dengan melihat sederet indikator ekonomi AS yang masih “hijau”, Ryan berpendapat resesi ekonomi AS kemungkinan tidak terjadi di 2020. Namun, bila kondisi ekonomi AS tidak banyak berubah, ada risiko resesi terjadi di 2021.

Ia pun mengutip pernyataan organisasi internasional OECD, soal krisis yang tak lagi bisa dideteksi dengan siklus dan disrupsi ekonomi yang bisa terjadi kapan pun. Disrupsi bukan hanya bersumber dari teknologi, tapi juga kebijakan petinggi negara, contohnya kebijakan Presiden AS Donald Trump.

(Baca: Mengukur Keraguan Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Stabil 5%)

Juga mengutip OECD, ia mengatakan, untuk mencegah resesi dan stagnasi ekonomi, perang dagang harus selesai dan negara-negara harus bekerja sama. Selain itu, ia menyinggung pentingnya investasi, serta kebijakan moneter dan fiskal yang mendukung pertumbuhan alias pro growth.

“Untuk mencegah stagnasi (ekonomi), harus betul-betul pro growth. Di moneter sudah baik, fiskal belum optimal,” ujarnya. Hal ini dengan melihat pemangkasan suku bunga acuan yang agresif dilakukan BI sepanjang tahun ini. Namun, di sisi lain, realisasi belanja pemerintah masih lambat.

BI memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 5,1% pada 2019, dan berkisar 5,1%-5,5% tahun depan. Ryan juga memprediksi ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di kisaran 5%. “Kalau pertumbuhan ekonomi di atas itu, 5,1%, 5,2%, 5,3%, jempol,” ujarnya. Meskipun, penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap perekomonian jadi catatan.