Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2019 sebesar 5,02% secara tahunan. Angka ini sebenarnya melambat dibanding kuartal sebelumnya sebesar 5,05% maupun periode yang sama tahun lalu sebesar 5,17%.
Meski melambat, sejumlah ekonom asing meragukan data yang dilansir BPS. Menurut mereka, perekonomian Indonesia seharusnya tumbuh lebih lambat dari data yang diumumkan BPS.
Mengutip Bloomberg, Ekonom Lembaga Riset Capital Economics Gareth Leather meragukan data yang dilansir BPS. Ia menyebut, indikator bulanan menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia telah melambat tajam selama setahun terakhir.
“Kami tak memiliki kepercayaan pada angka PDB resmi Indonesia, yang telah stabil selama beberapa tahun terakhir," ujar Gareth yang berbasis di London.
Trinh Nguyen, Ekonom Natixis SA di Hong Kong juga mempertanyakan data BPS dalam sebuah posting di akun Twitter-nya.
"Saya tidak tahu bagaimana ekonomi dapat tumbuh pada tingkat yang sama untuk waktu yang lama dan ini dimiliki Indonesia. Pengeluaran pemerintah lemah dan investasi melambat, impor juga mengalami kesulitan," tulis dia.
(Baca: Ekonomi Melambat, Wamenkeu Beralasan Terimbas Perang Dagang)
Kendari demikian, angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS sebenarnya sesuai dengan hasil survei Bloomberg yakni sebesar 5%.
Sementara itu, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam postingan di akun Twitter-nya mengaku mendapat banyak pertanyaaan dari berbagai pihak terkait angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%.
"Ada banyak pertanyaan ke saya, apakah angka ini masuk akal, karena banyak yang menganggap bahwa pertumbuhan akan berada dibawah 5%. Tentu bagaimana metodologinya yang bisa menjawab BPS, saya hanya mencoba menjabarkan angka-angka" tulis Chatib.
Ia menjelaskan, sejumlah komponen pertumbuhan ekonomi memang melambat cukup dalam pada kuartal III 2019. Konsumsi rumah tangga melambat dari 5,17% pada kuartal II 2019 menjadi 5,01%, investasi turun ke 4.21% dari 5.01%, dan pengeluaran pemerintah turun dari 8.23% ke 0.98%.
"Lalu mengapa GDP growth hanya turun dari 5.05% ke 5.02%? Jika kita melihat angka, penjelasannya adalah net export," terang dia.
Menurut Chatib, salah satu yang menolong perlambatan ekonomi Indonesia tak terlalu dalam dan masih berada di kisaran 5% adalah kinerja impor yang turun lebih dalam dari ekspor, sehingga masih tercipta pertumbuhan dari sisi net ekspor.
(Baca: Makin Melambat, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2019 Hanya 5,02%)
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati menegaskan, data yang dihimpun pihaknya lebih luas dari sekadar komponen-komponen indeks bulanan yang menjadi basis keraguan ekonom asing terkait angka pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dihitung berdasarkan buku panduan (manual book) yang disusun oleh sejumlah lembaga internasional, antara lain IMF, Bank Dunia, dan OECD.
"Perhitungan pertumbuhan ekonomi dilakukan berdasarkan manual book yang disusun lembaga-lembaga internasional. Perhitungan kami juga dicek oleh IMF dan Bank Dunia setiap tahun, mereka kemudian menerbitkan sertifikasi bahwa perhitungan kami akurat atau tidak," ujar Sri saat dihubungi Katada.co.id, Selasa (6/11).
Sebagai lembaga independen, menurut dia, BPS tak mungkin memanipulasi angka pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, terlalu besar harga yang harus dibayar jika BPS melakukan hal tersebut.
"Terlalu mahal harga yang harus dibayar kalau kami memanipulasi data. Bukan hanya krebilitas BPS yang dipertaruhkan, tetapi Indonesia. Nanti seluruh data tidak dipercaya, siapa yang mau masuk pasar keuangan kita," ungkap dia.
(Baca: Pertumbuhan Investasi Kuartal III Anjlok, Penyebabnya Kondisi Politik?)
Sri menjabarkan angka pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan BPS pada kuartal III 2019 sebenernya juga melambat. Namun, tertolong oleh konsumsi rumah tangga yang masih kuat. Sementara komponen lain, sesuai rilis BPS, sebenarnya mencatatkan perlambatan pertumbuhan yang cukup dalam.
"Banyak pihak yang kaget saat kemarin kami rilis konsumsi pemerintah tak sampai 1%, tapi kami punya data lengkap untuk menghitung secara akurat. Banyak juga ekonom yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi di atas 5%," jelas dia.
Selain itu, menurut dia, BPS bukan tak pernah merilis angka pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Pada kuartal II 2015 atau diawal pemerintahan Jokowi, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,67%, dibawah ekspektasi pasar sebesar 4,8%.
"Saat itu, miliaran dolar keluar dari pasar uang dan saham. Tapi kami tetap umumkan kalau memang hasilnya tidak bagus," tegas dia.