Bank Indonesia (BI) mencatat, aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air mencapai Rp 217,04 triliun per Oktober 2019. Gubernur BI Perry Warjiyo menilai, hal ini menunjukkan bahwa investor asing percaya terhadap perekonomian Indonesia.
“Ini lagi-lagi mengonfirmasi kepercayaan (investor) terhadap Indonesia masih cukup baik,” kata dia di kompleks BI, Jakarta, Jumat (1/11). Selain itu, pandangan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia positif.
Secara rinci, aliran modal masuk melalui obligasi pemerintah sebesar Rp 165,2 triliun. Lalu, yang masuk melalui pasar saham dan obligasi korporasi masing-masing Rp 49,9 triliun dan Rp 2,06 triliun.
(Baca: Aliran Masuk Dana Asing Hingga Pekan ke-4 Oktober Capai Rp 210 Triliun)
Dalam seminggu ini saja, aliran modal asing yang masuk ke Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 4,45 triliun dan ke obligasi korporasi Rp 100 juta. Namun, investor justru menarik modalnya keluar dari pasar saham sebesar Rp 190 miliar.
Meski begitu, Perry menilai para investor cukup puas dengan kebijakan pemerintah Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajaran kabinetnya. Hal itu terlihat dari derasnya aliran modal asing masuk ke dalam negeri.
Karena itu, ia berharap pemerintah bisa menjaga kebijakan sebaik mungkin. (Baca: BI Turunkan Bunga Acuan, Rupiah Melemah ke 14.058 per Dolar AS)
Perry pun optimistis, besarnya modal asing yang masuk ke pasar di dalam negeri bakal membuat nilai tukar rupiah relatif stabil. "Mekanisme pasar berkembang secara baik menangani supply dan demand," katanya.
Di satu sisi, penurunan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) alias Fed Fund Rate oleh The Federal Reserve (The Fed) tak terlalu memengaruhi pergerakan mata uang Garuda. Sebagaimana diketahui, The Fed baru saja menurunkan suku bunga acuannya 25 basis poin ke level 1,5%-1,75%.
Meski begitu, Perry mengatakan bahwa The Fed memberi sinyal terkait penurunan suku bunga acuan yang lebih kecil ke depan. "Penurunan suku bunga The Fed ini lebih awal dari yang kami perkirakan. Padahal, pertumbuhan ekonomi AS belum memerlukan itu. Ini menunjukkan bahwa The Fed melakukan hawkish cut," katanya.
Karena itu, ia mengatakan ada indikasi rupiah akan terus menguat hingga di bawah Rp 14.000 per dolar AS. Sebab, faktor dalam negeri seperti inflasi yang rendah, prospek ekonomi yang baik, serta kredibilitas dan kepercayaan pasar terhadap kebijakan berpengaruh terhadap rupiah.
(Baca: Pelaku Pasar Pantau Kesepakatan Dagang, Rupiah Bergerak Melemah)