Penyebab 33 Perusahaan Tiongkok Tak Pilih Investasi ke Indonesia

ANTARA FOTO/UMARUL FARUQ
Ilustrasi pabrik di Indonesia. Bank Dunia menyebut banyak perusahaan enggan memindahkan investasi ke Indonesia lantaran perizinan yang rumit.
Penulis: Agustiyanti
10/9/2019, 11.49 WIB

Bank Dunia menyebut 33 perusahaan asal Tiongkok memindahkan bisnis dari negara asalnya ke sejumlah negara, tetapi tidak ke Indonesia. Salah satu penyebabnya, proses investasi di Indonesia yang membutuhkan waktu lebih dari satu tahun.

Berdasarkan laporan Bank Dunia bertajuk Risiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia, sebanyak 23 perusahaan berpindah dari Tiongkok ke Vietnam, sedangkan 10 perusahaan berpindah ke Kamboja, India, Malaysia, Singapura, dan Taiwan.

Menurut Bank Dunia, Indonesia tak menjadi tujuan relokasi investasi. Hal ini, lantaran memindahkan pabrik atau investasi ke Indonesia berisiko, rumit, serta membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Sementara proses investasi di Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Taiwan lebih cepat.

"Pabrik mesin cuci pindah dari Tiongkok ke Vietnam dan Thailand dalam 60 hari setelah AS mengenakan tarif pada 2016 dan ekspor langsung melesat setelah itu," jelas Bank Dunia.

(Baca: Efek Perang Dagang bagi Ekonomi RI, Lebih Besar dari AS atau Tiongkok?)

Pada 2017, sebanyak 73 perusahaan memindahkan operasionalnya dari Jepang, Tiongkok, dan Singapura ke Vietnam. Kemudian 43 perusahaan ke Thailand, 11 perusahaan ke Filipina, dan hanya 10 perusahaan ke Indonesia.

Meski Presiden Joko Widodo berupaya untuk mempermudah investasi di Indonesia, negara lain pada kenyataannya lebih gigih mereformasi kebijakan demi menggaet investasi asing.

Bank Dunia pun menekankan insentif pajak yang banyak digelontorkan pemerintah tak akan membuat Indonesia lebih kompetitif pada sektor otomotif, tekstil, elektronik, farmasi, dan manufaktur lainnya, tanpa menyelesaikan sejumlah hambatan investasi.

Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC ini menyarankan Indonesia untuk mengejutkan investor dengan reformasi kebijakan, dengan meningkatkan kredibilitas, kepastian, dan pemenuhan kebijakan.

(Baca: Produk Lokal Sulit Bersaing, Pemerintah Diminta Setop Impor Tekstil)

Peningkatan kredibilitas, antara lain dilakukan dengan memangkas kebutuhan rekomendasi perizinan untuk impor barang industri, memangkas tarif impor bahan modal atau baku yang penting untuk industri manufaktur, dan melonggarkan batas kepemilikan asing pada Daftar Negatif Investasi (DNI) pada sejumlah sektor penting.

(Baca: Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Terus Melambat Hingga 2022)

Kemudian, kepastian diberikan dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak dapat diprediksi dan menghindari aturan yang berpotensi tidak konsisten.

Bank Dunia juga menekankan kebijakan sebelumnya yang dikeluarkan pemerintah tidak menciptakan kredibilitas dan kepastian investasi karena ambisi yang terbatas dan kurangnya kepatuhan dalam menjalankan kebijakan, terutama yang dibuat Presiden.

Oleh karena itu, Bank Dunia menyarankan Presiden Joko Widodo membentuk tim yang kuat untuk mengindentifikasi kebijakan yang dibuat dan memastikan kebijakannya dapat terlaksana. Dengan demikian, diharapkan investor memiliki kepastian dan menanamkan investasinya di Indonesia.

Menanggapi Bank Dunia, Jokowi mengatakan, sepinya minat asing untuk berinvestasi di Indonesia karena proses perizinannya masih lama. Proses perizinan investasi di Indonesia bisa memakan waktu bertahun-tahun. Padahal, di Vietnam, proses perizinan investasi hanya butuh waktu dua bulan.

Maka itu, Jokowi meminta jajarannya untuk menginventarisir regulasi-regulasi yang menghambat pemrosesan PMA di Indonesia. Nantinya, pemerintah akan mencari cara menyederhanakan regulasi-regulasi tersebut. “Sepekan lagi kita akan bicara mengenai masalah bagaimana segera menyederhanakan peraturan-peraturan yang menghambat dan memperlambat,” ujarnya, pekan lalu.