Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana mengatur bea pada dokumen digital atau bea meterai elektronik. Hal ini akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait bea meterai.
Dalam RUU itu, pemerintah rencananya akan menaikkan tarif bea meteria dari Rp 3.000 dan Rp 6.000 menjadi satu tarif sebesar Rp 10 ribu. Definisi dokumen yang dikenakan bea juga diperluas tak hanya mencakup kertas, tetapi juga dokumen digital.
Selain itu, batas nominal dokumen yang dikenakan bea meterai akan turut diubah. Batas awal yang semula dua lapisan dengan nilai di atas Rp 250 ribu dan di atas Rp 1 juta akan disederhanakan menjadi di atas Rp 5 juta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya memperkirakan potensi penerimaan negara dengan naiknya tarif bea meterai bisa mencapai 75%. Hanya saja, potensi kenaikan itu belum menghitung penerimaan yang dapat diperoleh dari bea meterai elektronik.
"Penerimaan bisa naik Rp 3,8 triliun menjadi Rp 8,83 triliun," ucap Sri Mulyani belum lama ini.
(Baca: Penjualan Materai Palsu Rugikan Negara hingga Rp 30 Miliar)
Lalu bagaimana potensi penerimaan dari bea meterai elektronik?
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memperkirakan penerimaan dari bea meterai elektronik akan cukup signifikan. Pasalnya, transaksi melalui platform digital terus meningkat.
“Informasi saat ini, dalam setahun terdapat 92 juta kali transaksi melalui platform digital. Kalau setiap frekuensi itu perlu meterai dan Rp 10 ribu ada Rp 920 miliar pemasukan,” ujar Yustinus, Kamis (5/9).
(Baca: Sri Mulyani Usulkan Tarif Bea Materai Naik Jadi Rp 10 Ribu)
Selama ini, menurut dia, banyak transaksi digital bernilai besar yang tak menggunakan bea meterai lantaran belum diatur, seperti transaksi saham di pasar modal. Sementara bea meterai saat ini hanya justru lebih banyak digunakan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang melakukan transaksi dengan nilai yang relatif kecil.
Sementara Anggota Komisi VI DPR RI Hamdani menjelaskan bahwa dokumen-dokumen transaksi non-kertas hingga hari ini belum bisa dikenakan bea meterai karena keterbatasan aturan dalam perundang-undangan. Pasalnya, pengaturan bea meterai saat ini masih menggunakan perundang-undangan yang dibuat pada 1985.
“Dalam UU nomor 13 tahun 1985 tentang bea meterai, cara pemateraian itu memang ada tiga. Yang pertama materai tempel, yang kedua cara lain, yang ketiga Surat Setoran Pajak (SSP). Sehingga sebelum segala digitalisasi ini meterai elektronik masih diatur dalam cara lain,” ujar Hamdani
Menurut dia, potensi penerimaan dari bea meterai cukup signifikan. Hal ini, menurut dia, lantaran, rata-rata uang yang dibelanjakan masyarakat Indonesia di situs belanja daring mencapai US$ 228 per orang atau sekitar Rp 3,19 juta per orang.
(Baca: PPh Badan Turun Bertahap Jadi 20%, Penerimaan Akan Hilang Rp 54 T)
Ia juga menyebut terdapat 8,72 juta dokumen perjanjian antara marketplace dan seller berdasarkan data pada 5 marketplace yakni Lazada, Bliblli, Shopee, Bukalapak, dan Tokopedia. Potensi ini, menurut dia, harus didukung melalui pengadaan bea materai elektronik.
Anggota DPR RI Fraksi Nasdem Achmad Hatari menambahkan bea meterai menjadi salah satu sumber pendapatan negara melalui penerimaan pajak. Pada tahun 2018, pemerintah mendapat Rp 5,5 triliun dari pendapatan penjualan benda meterai.
Tercatat pula bahwa tren penerimaan negara dari meterai cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2015. Pada 2015 tercatat penerimaan negara dari meterai sebesar Rp 4,59 triliun, lalu pada 2016 sebesar Rp 4,81 triliun, pada 2017 sebesar Rp 5,08 triliun dan Rp 5,46 triliun pada 2018.
Reporter: Dorothea Putri (magang)