Dolar Amerika Serikat (AS) menguat tajam terhadap mata uang utama dunia. Ini tercermin dari indeks dolar AS yang melesat ke level tertinggi sejak Mei 2017. Seiring perkembangan tersebut, sejumlah mata uang dunia lainnya, termasuk rupiah tertekan.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS telah menembus level 99, dengan nilai tukar euro terkoreksi semakin dalam. Bila indeks dolar AS tercatat sebagai yang tertinggi sejak Mei 2017, maka nilai tukar euro tercatat sebagai yang terlemah sejak waktu yang sama.
Nilai tukar rupiah terpantau melemah meskipun tidak drastis. Saat berita ini ditulis, rupiah berada di posisi Rp 14.227 per dolar AS, terkoreksi 0,24% dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin. Rupiah berbalik melemah setelah menguat sejak Kamis, 29 Agustus 2019.
(Baca: BI Sebut Rupiah Sulit Kembali Menguat di Bawah 14 Ribu per Dolar AS)
Analis Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan dolar menguat, di antaranya perang dagang AS-Tiongkok yang memanas. Tiongkok kembali membuat gugatan baru ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), terkait kebijakan tarif AS.
"Gugatan tersebut adalah yang ketiga yang diajukan Beijing untuk menantang tarif khusus AS di WTO,” ucap dia kepada Katadata.co.id, Selasa (3/9).
AS mulai mengenakan tarif 15% terhadap berbagai barang Tiongkok pada Minggu, 1 September 2019, yang dibalas Tiongkok dengan mengenakan bea baru pada minyak mentah AS. Adapun tarif baru yang diterapkan AS atas Tiongkok mempengaruhi US$ 300 miliar ekspor Tiongkok. Tarif ini dianggap sebagai hukuman bagi pencurian kekayaan intelektual.
(Baca: Berbagai Kenaikan Tarif dan Ancaman AS -Tiongkok Selama Perang Dagang)
Penguatan indeks dolar AS juga disebabkan oleh polemik Brexit, serta data ekonomi Eropa yang lemah. Hasil survei manufaktur Eropa yang dirilis Senin, 2 September 2019, menunjukkan kinerja industri manufaktur melambat selama tujuh bulan berturut-turut.
Hal ini memperkuat potensi pelonggaran moneter oleh bank sentral Eropa dan putaran baru pembelian obligasi untuk menggerakkan ekonomi (quantitative easing).
Meski dolar AS dalam tren penguatan, namun Ibrahim optimistis rupiah tidak akan melemah tajam. "Bank Indonesia (BI) masih bisa meredam dengan melakukan intervensi melalui perdagangan valas dan obligasi di pasar DNDF," ujar dia.
Ditambah lagi, fundamental ekonomi masih cukup kuat. Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi kuartal III 2019 di atas 5%. Apalagi, dengan dukungan inflasi yang terkendali. Inflasi bulanan pada Agustus sebesar 0,12%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 0,16%.
Ibrahim berharap pemerintah dan BI terus menerapkan bauran kebijakan guna meredam pelemahan mata uang garuda di tengah guncangan pasar yang cukup hebat akibat perang dagang dan Brexit.
Dalam perdagangan besok, Ibrahim memproyeksikan rupiah masih akan fluktuatif dengan kecenderungan melemah dalam rentang tipis. Perkiraan dia, rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 14.200 - Rp 14.256 per dolar AS.