Bank Indonesia (BI) menyebut nilai tukar rupiah sulit kembali menguat di bawah Rp 14 ribu per dolar AS. Hal ini lantaran kondisi ekonomi global yang masih menghadapi ketidakpastian.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menjelaskan perang dagang AS dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab utama. Bank sentral di berbagai negara juga menurunkan suku bunga
"Kalau kita lihat tentu kita nggak berharap rupiah langsung menguat, di bawah Rp 14 ribu itu juga akan sulit," katanya di Jakarta, Rabu (28/8).
(Baca: Tiongkok Bantah Klaim Trump, Rupiah Melemah Tipis)
Dia menjelaskan, perang dagang antara AS dan Tiongkok terjadi dalam waktu yang panjang serta masuk ke dalam tiga fase. Alhasil, perdagangan dunia turun secara drastis. Bank sentral berbagai dunia pun menurunkan suku bunga karena tantangan global semakin tinggi.
Destry membeberkan sektor keuangan terdampak kondisi perekonomian global. Selain itu, status ekspor manufaktur dan komoditas Indonesia dalam sisi ekspor juga mengalami penurunan. "Kita merasakan dampak perdagangan dunia," ujarnya.
Dia menambahkan, volatilitas mata uang rupiah bukan satu-satunya yang terjadi secara global. Apalagi, Yuan milik Tiongkok mengalami depresiasi sehingga mendorong mata uang negara berkembang ikut terdepresi.
(Baca: Sri Mulyani: Nilai Tukar Rupiah Tahun Depan Sulit Diprediksi)
Menurut Destry, Indonesia terselamatkan tingginya ekonomi domestik. Selain itu, tingkat inflasi dalam negeri juga tetap dalam kisaran sasaran 3,5%. Dia menjelaskan, permintaan domestik adalah hasil pengaruh konsumsi yang lebih tinggi dan investasi yang stabil.
BI pun menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 sekitar 5,0% sampai 5,4%. Tahun depan, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan naik sedikit di level 5,1% sampai 5,5%. Dia juga memproyeksikan penurunan defisit neraca berjalan tahun 2020.