Rencana pengampunan pajak atau tax amnesty untuk kedua kalinya memicu kontroversial. Sejumlah ekonom dan pengusaha menilai akan ada banyak dampak negatif dibandingkan efek positif jika kebijakan ini dijalankan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam meyakini hal tersebut. “Salah satunya memunculkan moral hazard, memunculkan harapan baru kalau ada tax amnesty kedua, ketiga. Yang tadinya harus disiplin, jadi ngapain disiplin,” kata Pieter dalam diskusi di Hotel Millenium Sirih, Jakarta, Rabu (14/8).
Hal ini tercermin dari pengalaman beberapa negara lain yang melaksanakan tax amnesty lebih dari sekali. Efek dari kebijakan tersebut bukan menambah pemasukan pajak, malah wajib pajak (WP) di sana justru menjadi meremehkan pemerintah.
Pengampunan pajak yang sempat diberikan pemerintah sebelumnya memang bisa meningkatkan basis pajak. Namun, ketika dilakukan secara berulang berdampak pada tingkat kepatuhan masyarakat lebih rendah.
Maka dari itu, Pieter menilai tax amnesty tak baik bagi pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang. “Pemerintah harus tegas menyatakan bahwa tidak akan menyelenggarakan lagi tax amnesty,” ujarnya.
(Baca: Rencana Tax Amnesty Jilid II Ditentang karena Perburuk Sistem Pajak)
Hal senada disampaikan Siddhi Widyapratama. Menurut Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini, penyelenggaraan kembali pengampunan pajak bisa menciptakan ketidakadilan.
Kembalinya tax amnesty bisa menyebabkan pengusaha yang selama ini patuh akan merasa dikhianati oleh pemerintah. “Mereka yang sudah patuh tiba-tiba melihat yang di sana bisa diampuni, itu menimbulkan ketidakadilan,” kata Siddhi dalam diskusi yang sama.
Selain itu, tax amnesty juga tak wajar apabila dilaksanakan beberapa kali dalam waktu yang berdekatan. Pemberian pengampunan pajak yang diulang-ulang bakal menurunkan kepatuhan wajib pajak pengusaha.
“Kami yang sudah terdaftar di sistem informasi perpajakan lama-lama khawatir,” ujarnya. Sebab, dia melanjutkan, “Orang yang tadinya sudah patuh, lama-lama akan tergoda dalam sistem. Yang patuh berpikir, oke nih, masih bisa jalan dan ada pengampunan.”
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mempertimbangkan untuk membuka kembali tax amnesty jilid II. Hal ini sebagai respons atas banyaknya aspirasi dan masukan dari berbagai pihak, terutama para pengusaha.
Rencana tersebut sudah tertuang dalam paket reformasi pajak yang sedang disusun Kementerian Keuangan. “Nanti kami sampaikan kepada presiden bagaimana keseluruhan kebijakan perpajakan sesuai dengan arahan beliau dan tentu juga memasukkan aspirasi dunia usaha,” kata Sri di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, Jumat (2/8).
Sri Mulyani menyatakan banyak pengusaha yang menyesal karena tidak mengikuti tax amnesty pada 2016-2017. Ketika itu Kementerian menyelenggarakan pengampunan pajak selama sembilan bulan. Dengan waktu sepanjang itu, Sri Mulyani kecewa karena hanya sedikit yang mengikuti program tersebut. “Cuma satu juta WP. Sangat rendah dibandingkan ekspektasi kami,” ujarnya.
Namun sepekan kemudian Kementerian Keuangan memastikan tak akan menyelenggarakan program pengampunan pajak jilid II. "Saya jamin tidak ada," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara saat Breakfast Forum Iluni FEB UI di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (9/8).
(Baca: Janji Pangkas Tarif Pajak, Jokowi dan Prabowo Diminta Hati-hati)
Walaupun berhasil meningkatkan pelaporan pajak, Suahasil menekankan program amnesti pajak tidak boleh menjadi kegiatan berulang. Pasalnya, program tax amnesty seharusnya mendorong agar wajib pajak lebih taat.
Bila ditengok ke belakang, total harta berdasarkan surat pernyataan harta (SPH) yang disampaikan dalam tax amnesty hingga 28 Maret 2017 mencapai Rp 4.668,77 triliun. Laporan harta ini terdiri dari deklarasi wajib pajak (WP) di dalam maupun luar negeri serta kekayaan di luar negeri yang dikembalikan ke Tanah Air. (Lihat grafik pada Databoks berikut ini).
Jumlah laporan kekayaan WP masih bertambah seiring berakhirnya program pengampunan hingga 31 Maret 2017. Dari pelaporan harta ini, uang tebusan yang diterima pemerintah Rp 123,64 triliun. Nilai tersebut terdiri atas pembayaran tebusan Rp 110 triliun, pembayaran tunggakan Rp 12,56 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp 1,08 triliun. Meski masih bisa bertambah hingga penutupan, tapi jumlah tebusan tersebut di bawah target, yakni sebesar Rp 165 triliun.