Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta adanya efisiensi birokrasi agar investasi semakin menggeliat. Ini lantaran rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah menunjukkan biaya produksi di Indonesia masih tinggi. Oleh karena itu, dia meminta pembenahan kembali dilakukan.
Sri Mulyani menjelaskan rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi (ICOR) di Indonesia masih di atas 6%. Angka tersebut masih lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi yang tercapai.
ICOR alias Incremental Capital Output Ratio adalah rasio yang menunjukkan efisiensi penggunaan modal dan dampaknya kepada pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, Vietnam yang punya ICOR lebih rendah sebesar 4,5% bisa memicu pertumbuhan ekonomi sampai 7%. Bahkan, Tiongkok yang pernah mengalami era pertumbuhan ekonomi di atas 8% punya tingkat ICOR sebesar 3%.
"Biaya ekonomi pasti tinggi, karena banyak perantara daripada orang yang benar-benar kerja, terlalu banyak pembahasan," katanya di Jakarta, Jumat (9/8).
(Baca: Sri Mulyani Nilai Birokrasi Indonesia Tak Ramah Bagi Investor)
Untuk itu, diperlukan kemudahan birokrasi untuk membuat sistem produksi usaha yang lebih efisien. Salah satunya adalah kebijakan berbasis teknologi seperti Online Single Submission (OSS) untuk meningkatkan efisiensi perizinan.
"Pada satu sisi kami butuh birokrat efisien yang kompeten. Di sisi lain butuh perbaikan efisiensi di pusat maupun daerah," ujar Sri Mulyani.
(Baca: BKPM Segera Luncurkan OSS Versi Baru dengan Beberapa Fitur Tambahan)
Dari sisi investasi pemerintah, dia juga menyebutkan anggaran infrastruktur saat ini mencapai Rp 430 triliun atau terbesar kedua setelah pendidikan. Menurutnya, peningkatan dana infrastruktur ini seharusnya bakal mengundang investasi lebih banyak.
Meski begitu, dia mengaku uang pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur secara merata di daerah masih kurang. Oleh karena itu, saat ini dikembangkanlah skema baru bernama Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Menurut Sri Mulyani, kebijakan yang baik bakal mendukung stabilitas pertumbuhan ekonomi. Apalagi, fenomena global sangat tidak pasti karena perang dagang Tiongkok dengan Amerika Serikat.