Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai sudah saatnya Bank Indonesia (BI) menurunkan tingkat suku bunga acuan. Hal ini seiring dengan tren menurunnya suku bunga di berbagai negara lain.
Tercatat, Bank Negara Malaysia (BNM), The Reserve Bank of Australia (RBA), dan Reserve Bank of India (RBI) telah menurunkan suku bunga. Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), pun berpotensi melakukan hal yang sama dalam waktu dekat.
Sejak November lalu, BI mempertahankan suku bunga acuan atau 7-Day Reserve Repo Rate di level 6%. “Indonesia sudah waktunya juga. Sudah waktunya menurunkan suku bunga,” kata Wimboh di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (12/6).
Penurunan suku bunga, menurut dia, dapat memberikan ruang lebih besar kepada dunia usaha untuk bisa bergairah lebih cepat. Hal itu pun dapat mendorong pertumbuhan permintaan domestik lebih tinggi.
(Baca: BI Proyeksikan Rupiah Tahun Depan Menguat ke Kisaran Rp 13.900-14.300)
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi secara nasional dapat termitigasi secara baik di tengah ketidakpastian global. Sebab, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini lebih banyak disumbang oleh permintaan domestik.
“Penurunan suku bunga itu memberikan optimisme untuk pergerakan dunia usaha, meskipun ada potensi penurunan ekonomi dunia,” kata Wimboh.
Namun, Wimboh menilai BI yang mengetahui secara jelas kapan waktu yang tepat untuk menurunkan suku bunga. Bank sentral juga lebih mengerti berapa besar suku bunga harus diturunkan.
OJK maupun Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan BI untuk memberikan pertimbangan atas penurunan suku bunga tersebut. “Kalau itu biar dihitung Bank Indonesia. Silakan saja,” kata Wimboh.
Direktur Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam sebelumnya mengatakan, BI bisa saja mendahului langkah The Fed untuk memangkas bunga acuan. "Tapi jangan sampai salah. Menurunkan bunga acuan lebih besar bahayanya daripada menaikkan bunga acuan," kata dia pada Jumat lalu.
Menurut dia, BI harus mampu memperkirakan waktu dan besaran penurunan Fed Fund Rate. Selain itu, BI harus mengkalkulasi dampak penurunan tersebut. "BI tidak boleh terlambat dan tidak boleh mendahului The Fed terlalu lama," ujarnya.
(Baca: Sri Mulyani Ungkap Strategi Jaga Pertumbuhan Ekonomi 5,3-5,6% di 2020)
Ia menjelaskan, pada prinsipnya, penurunan bunga acuan dilakukan untuk melonggarkan likuiditas dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, hal ini akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, terutama bila The Fed ternyata masih mempertahankan bunga acuannya. Terlebih lagi, Indonesia memiliki masalah pelebaran defisit transaksi berjalan yang membebani nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai ruang pemangkasan bunga acuan oleh BI terbuka lebar. "Bahkan sebelum The Fed turunkan bunga, BI bisa lakukan kebijakan preemptives dengan penurunan 25-50 basis points," ujarnya.